Rabu, 30 Juli 2008

I can be a wonderful woman

Seharian kemarin, saya menghabiskan waktu di rumah membaca sebuah majalah. Majalah Marketing edisi lama sebenarnya, edisi bulan April tepatnya. Sudah lama saya mengincar untuk mambaca majalah ini, tapi selalu saja ada alasan yang “jelas” dan “tidak jelas” untuk saya tidak membawanya pulang dan membaca di rumah. Akhirnya, setelah terpendam selama 4 bulan, majalah yang sudah lecek itu (karna berpindah dari tangan ke tangan) sekarang ada di samping komputer saya dan sudah saya lahap habis selama 1 hari full.


Isunya yang diangkat menarik, tidak jauh dari hari Kartini di bulan April saat itu, yaitu tentang “Top Female Marketers”. Saya bukanlah seorang marketer dan saya tidak tertarik bekerja di bidang marketing. Sudah pernah saya mencoba menjadi marketer, tapi tidak juga berhasil. Mungkin, faktor keinginan yang tidak kuat itu menjadi alasannya. Yah, saya sekarang sudah memilih untuk menjadi seorang editor buku, memilih naskah menarik berdasarkan idealisme pasar, menyusunnya sedemikian rupa supaya menarik dan banyak yang membeli, lalu meminta tolong pada marketer perusahaan untuk memasarkannya. Jadi, meski sedikit berbau “pasar” alias market, tapi saya bukan marketer.


Satu tokoh wanita yang diangkat oleh majalah Marketing yang menarik hati saya sudah lamaaa sekali adalah Supia Latifah Alisjahbana (pendiri femina group). Meski tidak begitu dibahas lebih dalam seperti tokoh lainnya, tapi beliau masuk dalam “Top 19 Female Marketers Indonesia”. Hebat sekali bukan… Saya dulu mengetahuinya dari produknya, majalah Femina yang sering dibaca ibu saya. Lalu majalah Gadis yang kemudian saya berlangganan ketika masih SMA. Sekarang, majalah CitaCinta yang sering saya baca di usia yang sudah bukan teenager lagi.


Dulu, impian saya adalah bekerja di Femina Group. Tapi saya benci dengan suasana di Jakarta. Seandainya perusahaan itu memiliki cabang di kota-kota lain seperti Semarang, Surabaya, Solo, atau Yogyakarta. Hmm… saya pasti sudah mendaftarnya dari dulu-dulu. Tapi, sekarang ini dengan berprofesi sebagai editor buku Galangpress Group di Yogyakarta, tidak membuat saya menyesal sedikit pun. Saya sudah memilih dan saya bertanggung jawab atas pilihan saya untuk mencapai impian saya.


Jujur saja, banyak ide yang saya dapatkan dari membaca majalah Marketing tersebut.

Ide untuk menulis buku (masa cuma jadi editor buku saja sih..).

Ide untuk berjuang mencapai posisi Top dalam perusahaan (masa mau jadi karyawan bawah terus sih).

Ide untuk berjuang mendirikan sebuah bentuk usaha baru (masa mau jadi karyawan terus sih, kapan jadi ownernya).

Dan saya tahu, ide kalau cuma ide tidak ada artinya tanpa sebuah tindakan nyata.


Masalah tentang “pilihan karir” yang mendera satu minggu yang lalu, seharusnya mampu membuat saya semakin fokus dalam mengejar impian saya. Dan semakin membuat saya bergairah untuk menjalankan ide-ide saya tersebut. Yah… siapa tahu.. saya akan menggenapkan menjadi wanita ke-20 dalam Top 20 Woman Female Marketers Indonesia. Hehehe…


Tapi lepas dari itu, ke 19 wanita tersebut memang benar-benar mampu menginspirasi saya sebagai sosok wanita di dunia ini. Tidak memanjakan dan mengistimewakan diri mentang-mentang saya perempuan. Tidak merasa minder untuk memimpin karna saya ini perempuan. Serta tidak melupakan kodrat saya sebagai perempuan, karena saya memang perempuan.


Cita-cita saya mungkin terdengar abstrak, tapi pasti susah ketika itu dilakukan secara bebarengan. Coz, I wanna be a good daughter for my parents. Be a good sister for my brother. Be a good career woman for my company. Be a good girlfriend for my boyfriend. Be a good wife for my husband (not yet). And finally (not yet, but sumday..) be a good mother for my children.


Jadi wanita zaman sekarang memang susah sekali. Tidak hanya berperan mengerjakan “4-ur” (dapur, lulur, kasur, dan sumur) seperti dulu. Tetapi berperan aktif juga di dunia karir. Apalagi sekarang ini susah sekali jika hanya mengandalkan satu sumber pemasukan, jadi sebagai wanita masa ya tega lihat suaminya banting tulang peras keringat bersimbah darah untuk mensuplai kebutuhan rumah tangga. Tapi, bukan berarti sebagai wanita pekerja pula lantas bekerja setengah-setengah dan puas dengan posisi staf yang didudukinya sekarang.


Menurut saya, sudah bukan zamannya lagi pemimpin haruslah seorang pria. Sudah bukan zamannya lagi gaji pria harus lebih tinggi daripada wanita. Sudah bukan zamannya lagi pria anti dengan urusan dapur yang biasa dikerjakan wanita. Sudah bukan zamannya lagi pria marah lantaran wanita terlihat lebih unggul dibandingkan dirinya. Dan seharusnya bukan zamannya lagi, gara-gara emansipasi wanita yang diagung-agungkan kemudian wanita menjadi kaum feminis yang menuntut segala sesuatunya lantas melupakan kodratnya sebagai seorang wanita.


Saya bukan seorang feminis sejati. Tapi saya hanyalah seorang wanita yang akan berpegang pada prinsip feminis di saat-saat tertentu. Dan saya akan ingat kodrat saya sebagai wanita di saat-saat tertentu pula. Kesetaraan gender, itu bahasa simpelnya. Ya. Karena saya memang seorang wanita biasa yang sedang bermimpi dan berjuang untuk menjadi wanita luar biasa bagi orang-orang yang begitu luar biasa di hati saya..


baca selengkapnya......