Senin, 24 November 2008

Guruku sayang, di mana engkau sekarang?

Hari Selasa, 25 November 2008 adalah Hari Guru Nasional. Mungkin tak banyak orang mengetahuinya, kecuali siswa-siswi yang masih selalu bertemu guru-gurunya setiap hari, serta guru-guru itu sendiri. Saya sendiri pun juga tak mengingatnya, setelah malamnya adik saya berkata “Mbak, aku besok libur sekolahnya, soalnya besok Hari Guru. Jadi gurunya mau upacara kali..”. Oo.. jadi besok adalah Hari Guru – pikir saya.

Pikiran ini jadi melayang, mengingat guru-guru yang pernah mengajar saya. Saya ingat, Bu Prapti – guru TK yang suka bercerita, memeluk saya ketika saya menangis gara-gara disuntik tes golongan darah, mengajari saya main musik dan menari, serta menemani saya ketika saya menunggu ibu yang belum juga menjemput. Rumahnya masih berdiri kokoh di Jl Kolombo (di samping Fresco Digital Photografi), tapi saya tak tahu lagi kabarnya. Anak temanku yang sekarang bersekolah di TKku dulu itu, sudah tidak lagi diajar oleh beliau.


Saya ingat lagi, Bu Tarsih – guru kelas 1 SD yang dengan sabar sekali mengajari saya membaca dan menghitung. Guru yang super sabar tapi juga tegas ini adalah guru favorit saya sepanjang masa. Saya ingat sekali, pertama kali saya ditanya “Noni kenapa terlambat?” dan dengan polosnya saya menjawab “Soalnya Bapak beraknya lama.” Hahahaha…. Malu rasanya kalau diingat-ingat.


Di kelas 1 ini juga saya pertama kali menorehkan tinta di buku dengan tulisan “Saya tidak akan lupa mengerjakan PR lagi.” sebanyak 5 kali. Tidak banyak mungkin, tapi itu cukup membuat saya jera, karena selain dihukum seperti itu, saya juga tidak diijinkan keluar saat istirahat. Selain itu, yang paling saya ingat adalah ketika kami harus berbaris ke belakang untuk masuk dengan tertib ke kelas kami. Tapi tidak dengan mudah kami bisa masuk ke kelas, karena di tangan Bu Tarsih sudah ada banyak kartu yang tertulis berbagai penjumlahan angka-angka. Misalnya: 4+5, lalu saya harus menjawab hasilnya dengan benar. Kalau tepat, saya bisa masuk dan duduk manis di bangku kelas, tapi kalau salah saya harus kembali ke barisan paling belakang. Wah, deg-degan rasanya ketika menanti-nanti giliran saya tiba.


Ada lagi, Bu Des – guru Biologi dan Fisika di bangku SMP. Guru ini juga guru tersabar diantara semua guru di sekolah saya saat itu. Di tangan Bu Des, pelajaran Fisika yang terkenal susah itu bisa menjadi sangat mudah. Dan pelajaran Biologi yang membosankan itu jadi mengasyikan dengan berbagai praktikum seru diajarkan oleh beliau. Saat itu, ada satu hari yang pelajaran Biologi dan Fisikanya berturut-turut selama 2 jam pelajaran. Tapi, karena gurunya sama jadi tidak perlu ganti guru, hanya ganti buku yang dipelajari. Dan gara-gara Bu Des pula, jam pelajaran yang biasanya terasa lambat itu begitu berlalu dengan cepat. Wah, beliaulah yang pertama kali membuat saya menyukai pelajaran Biologi.


Di bangku SMA, ada Bu Hernita – guru Bahasa Indonesia favorit saya itu. Mungkin terdengar sepele ya, pelajaran yang sepertinya mudah tapi sebenarnya itu rumit. Beliaulah yang pertama kali mendukung saya untuk ikutan “Lomba Esai 100 tahun Bung Hatta”, meski saya kalah tapi lumayanlah buat pengalaman. Beliau juga yang mendesak saya untuk segera melengkapi data-data untuk mendaftar kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi UAJY jalur Unggulan. Ketika hanya berkas saya yang belum lengkap, beliau menunggu saya untuk segera melengkapinya.


Selain piawai di pendidikan Bahasa Indonesia, beliau juga jago sekali menyanyi. Suaranya yang merdu kadangkala masih saya nikmati ketika menonton Jogja TV atau ketika saya beribadah di GKJ Sawokembar. Beliau jugalah yang melatih saya bernyanyi di Paduan Suara SMA. Dan jika menjelang lomba, biasanya beliau terlihat galak. Hahaha… mungkin sindrom pelatih yang dikejar deadline tampil. Dan setelah lomba berhasil dilewati, biasanya kami suka menggoda beliau yang sebelumnya suka marah-marah sendiri.


Ohya, ada lagi guru di keluarga saya yang paling saya hormati. Yaitu – mbah kakung saya sendiri. Beliau dulu adalah seorang guru, serta mantan pendiri dan kepala sekolah di sebuah SD kecil di daerah Wuryantoro – Wonogiri. Jika beliau bercerita tentang perjuangannya mendidik anak-anak, pastinya itu dulu terasa berat. Di saat kesadaran akan pendidikan masih rendah dan di saat orang tua lebih suka menyuruh anaknya pergi ke sawah dibanding pergi sekolah. Tapi mbah kakung rela bersepeda berpuluh kilometer dari rumahnya di desa Pracimantoro menuju sekolahnya. Bahkan selama berbulan-bulan tanpa bayaran sepeser pun, beliau rela mengayuh sepeda tuanya itu.


Ketika aku masih duduk di bangku SD, mungkin beliau merindukan masa-masa di sekolah dulu. Jadi, beliaulah yang suka memaksa ibu supaya biar beliau saja yang mengantarku ke sekolah. Aku sudah berani ke sekolah sendiri, tapi beliau malah menungguiku dan mengobrol dengan guruku. Dan ketika aku mendapat PR, beliau yang membantuku mengerjakannya dan tidak jarang justru beliau yang mengerjakannya. Hahaha… tidak salah jika ibu marah, karena aku nanti tidak berkembang. Sekarang, saatnya beliau bernafas lega ketika melihat semuanya menjadi lebih baik karena pendidikan. Beberapa anaknya ada yang mengikuti jejaknya menjadi seorang guru, itu menjadi sebuah kebanggaan tersendiri baginya. Serta melihatku menjadi seperti saat ini, aku pun melihat garis kebahagiaan terpancar di wajahnya.


Pastinya, ada banyak guru-guru yang berjasa bagi perkembangan saya. Mulai dari saya TK sampai saya di bangku kuliah. Semuanya mampu memberi kesan tersendiri bagi saya. Jadi, itulah mengapa Andrea Hirata begitu mengagungkan nama Ibu Muslimah – gurunya. Sama seperti saya yang masih terus mengenang guru-guru saya dan juga kenangan-kenangan indah, nakal, dan jahil dengan beliau.


Guru adalah Pahlawan tanpa Tanda Jasa. Begitu yang sering disebut-sebut selama ini. Saya pun mengakuinya, ketika gaji yang diterima guru tidaklah besar tapi beliau rela bersabar mendidik siswa-siswinya. Tapi saat ini masih adakah guru yang benar-benar tanpa tanda jasa alias rela berkorban untuk kemajuan pendidikan siswa-siswinya. Masih ada banyakkah “mbah kakung – mbah kakung” lain yang mendidik siswa-siswinya tanpa bayaran sepeser pun. Saya yakin ada, tapi saya pun tak tahu berapa…

baca selengkapnya......