Jumat, 11 Desember 2009

Mencari Merapi


Seperti biasa, saya pulang ke rumah sekitar pukul 17.30. Kantor saya di selatan, sedangkan rumah saya di utara. Dan Jalan Gejayan yang sekarang berubah nama menjadi Jalan Affandi menjadi jalan wajib sehari-hari baik berangkat ataupun pulang beraktivitas.


Dalam perjalanan pulang, saya jadi teringat. Dulu setiap saya pulang kuliah atau pulang berakltivitas di sore hari, saya selalu melihat pemandangan cakep di arah utara. Yaitu gunung merapi berdiri kokoh dengan gagahnya. Jelas sekali dan seakan-akan dekat dengan kota Yogyakarta. Tidak ada awan atau kabut yang menutupi, tidak ada awan mengepul yang membuat warga Yogyakarta berpikir bahwa gunung itu sedang adem ayem. Tapi jika gunung itu mengepul dengan asap yang membumbung tinggi, wahh… bisa jadi tanda tanya, jangan-jangan sedang ada aktivitas di perut gunung itu.

Dari rumah saya di kuku kaki gunung merapi pun bisa terlihat pemandangan apik itu. Tinggal naik ke lantai atas, duduk-duduk di balkon depan, atau kalau perlu naik ke atap rumah, pemandangannya cantik nian. Atau jika tidak mau bersusah payah, bisa juga tinggal duduk di depan rumah, gunung ganteng itu bisa terlihat jelas rupawan.
Dulu, ketika peristiwa gempa mengguncang kota saya tahun 2006 silam. Semua penduduk perumahan tempat saya tinggal, ke luar rumah dan menenggok ke arah utara. Jangan-jangan gunung itu meletus dengan dahsyatnya – maklum saat itu memang kami sedang menanti detik-detik gunung itu memuntahkan isi perutnya.

Sebelum gempa itu terjadi, orang tua saya pernah pamit pada anak-anaknya, katanya mau beli roti bakar dulu di dekat pasar. Tapi sampai jam 22.00 belum juga pulang. Saya menunggu mereka sambil terkantuk-kantuk di ruang tengah. Ealahh.. ternyata mereka mampir ke rumah Mbah Marijan di kaki gunung merapi sono. Sempat disuguhi teh, mengobrol dengan penduduk setempat tentang aktivitas Merapi, dan juga mengobrol dengan wartawan stasiun TV nasional.

Sedemikian besar perhatian kami – warga Ngayogyakarta Hadiningrat ini terhadap gunung gagah di utara Yogyakarta. Tapi sekarang dan setahun terakhir ini, saya tidak pernah melihatnya lagi. Hhhhmm… Ke mana ya gerangan gunung ganteng itu? Baik-baik saja kah dikau berdiri dengan gagah di utara sana? Perlihatkan dirimu lagi ya pada kami yang kangen padamu. Perlihatkan dengan baik-baik saja dan tidak perlu dengan kehebohan muntahan isi perut atau kepulan asap tebal. Itu sudah cukup menunjukkan bahwa kau baik-baik saja di utara sana.
baca selengkapnya......

Minggu, 22 November 2009

Mencari yang Tak Terlihat dari Kasus Bu Ruminah


Perkara pencurian 3 buah Kakao oleh Bu Ruminah di Perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) mengingatkan saya pada peristiwa 11 tahun yang lalu. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMP, jadi mengerti hukum pun tidak. Tapi saya mengikuti proses hukum, termasuk proses peradilan. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.


Siang itu, seperti biasa saya main ke rumah sahabat saya - Kike, di Perum Candi Gebang. Karena saya baru saja pindah ke Perum Candi Indah, perjalanan ke rumahnya yang biasa hanya dengan jalan kaki, saya lakoni dengan bersepeda. Sampai di rumahnya, saya taruh sepeda saya di depan rumahnya tanpa dikunci. Ketika saya dan Kike sibuk bermain di kamarnya, mamanya datang dan menghampiri saya, "Non, sepedamu hilang'e.." Heh??? Sepeda kesayangan saya hilang??? "Masa to Bu?" tanya saya ke Bu Atmadi, karna saya pikir beliau becanda. Lalu jawabnya, "Iya, itu malingnya lagi dikejar Pak Atmadi."

Huaaahhh.. Saat itu yang ada di pikiran polos kepala saya adalah "Aduuhh... saya pasti nanti dimarahi orang tua." Lalu dengan deg-degan, saya menelpon rumah dan yang mengangkat mama. Saya bilang bahwa sepeda saya dicuri, tolong saya dijemput. Sesampainya mama ke rumah Pak Atmadi itu, mama dan Bu Atmadi ngobrol pake bahasa jawa yang saya juga tidak begitu dong itu ngomongin apa. Pikiran saya masih takut dan kalut, "Besok saya sekolah naik apa? Sepeda aja enggak punya.."

Singkat cerita, maling sepeda itu akhirnya ketangkap hari itu juga. Tidak jauh di dekat rumah Pak Atmadi, satu orang maling dikeroyok rame-rame oleh penduduk setempat. Tapi, yang satunya lagi kabur membawa lari sepeda saya. Akhirnya, masalah pencurian sepeda itu sampai juga ke pihak berwajib. Alias diselesaikan di meja hijau.

Prosesnya lama, kalau tidak salah saya sempat menunggu 3-4 bulan sampai pada akhirnya proses persidangan itu berjalan. Saya yang masih sangat polos, tidak tahu menahu tentang proses ini. Orang tua saya harus tanda tangan banyak berkas dan didatangi Polisi pun saya masih juga belum ngeh. Karena saya masih 13 tahun, jadi tidak ada proses sumpah dalam persidangan. Saya duduk di depan & di tengah2 (persis layaknya persidangan biasanya). Dua orang tersangka duduk di sebelah kanan didampingi pengacaranya. Lalu Pak Atmadi sebagai empunya rumah di mana TKP berlangsung, menjadi saksinya.

Sidang tersebut diakhiri dengan kata2 Pak Hakim yang bilang, "Lain kali Noni kalo naruh sepeda di tempat aman yaa.. Dikunci juga". "Sepedanya bener itu bukan?" tanya beliau di tengah persidangan. Sebelum saya menjawab, beliau menyuruh saya untuk mendekati sepeda itu dan mengeceknya. Lalu setelah saya mengecek, dengan polosnya saya bilang "Iya Pak bener.. Tapi stikernya hilang semua ya.." Grrrr... semua penonton sidang ketawa semua.

Nah, kembali ke masalah Bu Ruminah dengan PT RSA. Semua media beramai-ramai memberikan dukungan dan simpati padanya. Semua mengecam tindakan PT RSA yang membawa masalah ini sampai ke pengadilan. "Hanya karena 3 buah Kakao!?!" Bagaimana bisa setega itu???

Lalu, ketika berita TVOne masih menyiarkan itu. Mama saya tiba2 bercerita seperti ini, "Masih inget kasus sepedamu yang hilang itu? Orang tua si pencuri sepeda itu dateng ke rumah ini lho.." Hah?? Ini saya baru tahu setelah 11 tahun peristiwa itu terlewat. "Orang tua itu minta maaf atas kelakuan anaknya & minta supaya proses tidak dilanjutkan, diselesaikan secara kekeluargaan saja." Lalu apa yang dilakukan orang tua saya? Beliau menelpon dan mendiskusikannya dengan Pak Atmadi. Dan karena di Perum Candi Gebang saat itu sering terjadi pencurian, baik sepeda, motor, dsb. Serta desakan dari warga setempat, untuk meneruskan ke pengadilan supaya memberi efek jera pada pelaku yang lain. Akhirnya proses hukum tetap dilanjutkan.

Cerita mama ini, membuat saya (yang sekarang sudah lebih pintar daripada 11 tahun yang lalu, hehe) berpikir berbeda dan lebih dalam lagi. Apa sih yang ada di pikiran PT RSA hingga mengangkat masalah ini ke pengadilan? Ada banyak faktor tentunya, tapi sayangnya media terlalu subjektif dan memihak dalam memberitakan ini. Kita tidak tahu kan, seberapa banyak peristiwa pencurian ini terjadi? Kita tidak tahu kan seberapa besar tekanan dari pihak petinggi2 PT RSA yang memarahi mandor2nya karena tidak becus menjaga kebun sehingga bisa kecolongan banyak sekali? Kita tidak tahu kan seberapa banyak petani setempat yg bandel dan terus saja mencuri meski sudah dimaafkan? Kita tidak tahu kan seberapa jujur Bu Ruminah ketika diwawancarai wartawan? (Karena orang desa depan rumah saya sering mencuri & menebang pohon2 di perumahan. Hikss.. jadi turun kepercayaan saya pada orang desa. Maaf yaa..)

Nah... sama seperti keputusan orang tua saya untuk melanjutkan proses hukum, ketika desakan dari warga Perum Candi Gebang yang gerah dengan kasus pencurian ini. Padahal kalau dipikir, hanya sebuah sepeda yang dicurinya. Bukan motor, bukan mobil. Tapi, dilematis orang tua saya serta ditambah rasa enggak enak kepada keluarga korban, akhirnya proses hukum tetap dijalankan.

Bukannya saya tidak mendukung Bu Ruminah siihh... Tapi masalah ini terjadi ketika negara kita sedang mengalami peristiwa yang menguncang hukum. Jadi, makin hebohlah pemberitaannya. Dan, kalau tentang kemanusiaan, saya sih tetap menyayangkan tindakan PT RSA yang menuntut Bu Ruminah - wanita tua usia 55 tahun. Kenapa bukan petani muda lainnya? Kalau toh, sama2 untuk memberi efek jera kan...

Jadi... klimaks dari tulisan saya ini. Yuk mari semua pemberitaan di media akhir2 ini, kita cermati dan kita kritisi. Jangan semua ditelan mentah2. Media sekarang tidak ada yang objektif. Kalau dalam bahasa jurnalisme, tidak ada yg bisa memberitakan secara cover both side. Dan parahnya, itu bisa membuat penduduk Indonesia sok-sokan dalam mencerna berita. Lalu asal demo ke jalan, atau demo lewat group di facebook tanpa tahu esensi masalahnya. Sekali lagi, mari semua berita heboh & menarik di media akhir2 ini kita pandang dari sisi lain, sisi yang tidak terangkat, sisi yang tidak terlihat, supaya kita bisa lihat dengan kacamata yg utuh. Karena filter semua berita itu bukan di medianya, tapi di penontonnya - yaitu kita.
baca selengkapnya......

Jenjang Pendidikan itu Juga Penting


Apa bedanya lulusan D1, D3, dengan S1 atau S2? Kalau toh ketika masuk ke dunia kerja, kadang gelar itu tidak digunakan. Ada orang yang cuma lulusan D1 atau D3 tapi lagi hoki sehingga mendapatkan pekerjaan dengan load dan gaji yang lebih tinggi dibandingkan lulusan S1 atau S2. Jadi, buat apa mengejar title setinggi-tingginya, kalau toh hoki kita ini tidak ada yang tahu.


Tapi, jangan salah... Saya baru saja mendapatkan perbedaannya 3 hari yang lalu. Bahwa sebenarnya kematangan pribadi dan kedewasaan dalam sebuah problem solving itulah yang dimiliki oleh lulusan S1. Ketika sudah masuk dalam dunia kerja, hal ini yang akan teruji. Seberapa besar orang tersebut mampu dengan dewasa dan tanpa emosi menyelesaikan masalah. Seberapa besar jiwa orang tersebut mau mengakui kesalahannya dan bukannya ngotot membela dirinya pasti benar. Serta seberapa besar orang tersebut mampu menyelesaikan masalah dengan waktu yang efektif dengan keputusan yang benar, serta berani ambil risiko.

Mengapa? Karena mahasiswa S1 terlatih untuk mengerjakan tugas dalam kelompok, di mana di situ terdapat perbedaan pendapat, sehingga mereka diharuskan bisa mengelola dan menyatukan perbedaan tersebut. Lalu nanti kelompok tersebut diwajibkan mempresentasikan tugasnya di depan kelompok yang lain. Ketika presentasi mereka akan dihujani pertanyaan, didebat, disalahkan, dikritik, dan sebagainya. Sehingga mereka harus bisa dengan tanpa emosi menjawab setiap pertanyaan dan kritikan. Itulah yang membuat mahasiswa S1 tetap lebih unggul. Saya menamakannya EQ mahasiswa S1 lebi teruji.

Boleh saja hoki berkata lain. Sehingga mahasiswa lulusan D3 bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan masa depannya dibanding lulusan S1. Tetapi ketika masuk ke dalam dunia kerja, semua hal yang sudah saya sebutkan tadi pasti akan terlihat. Memang sih.. ada juga orang lulusan D3 yang memiliki jiwa kepemimpinan dan jiwa besar yang tinggi dibandingkan orang lulusan S1. Tetapi, semua itu ditempa oleh waktu selama ia bekerja. Tetapi, jika selama waktu bekerja itu tidak dipergunakan dengan baik untuk belajar, ya sama saja. Para lulusan D3 yang sudah naik pangkat, akan disalip oleh yunior-yuniornya yang lulusan S1.

Jangan sebal atau sungkan ketika Anda dipimpin oleh orang lulusan D3, karena apa yang sudah Anda pelajari selama kuliah seharusnya dipraktikkan. Seharusnya kita berani menunjukkan bahwa dengan kepintaran kita, kita memiliki nilai EQ yang lebih tinggi.

Tapi, semua itu tentu saja terbukti jika mahasiswa S1 benar-benar melaksanakan proses kuliahnya selama kurang lebih 4 tahun tersebut dengan baik. Jadi, saran saya untuk mahasiswa S1, gunakan setiap tugas-tugas yang diberikan dosen itu sebagai proses pembelajaran yang akan membekali kalian untuk lebih siap memasuki dunia kerja. Sedangkan untuk mahasiswa D3, gunakan kesempatan ketika sudah memasuki dunia kerja, untuk belajar tentang EQ yang dipelajari mahasiswa S1 ketika di kampus. Jadi, semua akan sama-sama bertanding karir secara fair.
baca selengkapnya......

Kamis, 12 November 2009

Indonesia, Bangsa Kreatif


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif. Jangan salah, sekalipun kita masih sering menggunakan barang-barang buatan luar negeri alias impor, tetapi kita patut berbangga hati bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kreatif.


Ketika menonton acara Kick Andy yang menayangkan tentang kreatifitas anak negeri yang disayembarakan dalam Eagle Award 2009, saya kagum bahwa ternyata bangsa ini mampu menciptakan karya yang mungkin tidak pernah kita pikir sebelumnya. Beberapa di antaranya Grabag TV – sebuah TV Komunitas di Desa Grabag, Magelang; Gorilla Fitness Center – sebuah tempat fitnes dengan peralatan seadanya, bahkan batu pun bisa dijadikan alat, Jember Carnivall – sebuah karnaval di kota Jember, Jawa Timur; Bank Sampah – sebuah bank yang menyimpan sampah di Desa Bagedan, Bantul, Yogyakarta; dsb. Benar kan... Itu semua membuat kita ini sadar bahwa bangsa ini punya potensi terselubung yang mungkin sebelumnya belum kita sadari.

Lalu, iseng-iseng saya mencoba menelusuri, dari mana asal muasal kekreatifan bangsa ini.

Bangsa ini baru berumur 64 tahun. Belum bisa dikatakan usia yang tua untuk sebuah negara. Itulah mengapa Bapak Presiden Soeharto – Bapak Pembangunan Indonesia, merestui masuknya industri asing demi pembangunan bangsa ini. Produk-produk asing tersebut rata-rata kan mahal. Tidak sesuai dengan kocek masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi karna bangsa ini ingin memiliki produk seperti itu, maka menjadi kreatiflah mereka untuk meniru-niru. Membuat produk yang serupa tapi tak sama.

Kalau di luar negeri, barang-barang elektronik dan transportasi memiliki usia tersendiri. Kalau sudah kadaluwarsa, harus diganti. Sedangkan di Indonesia, barang elektronik dan transportasi makin tua malah makin unik dan terus dipertahankan, dengan alasan ‘tahan banting’. Lalu, terus diutak-atik supaya lebih menarik. Belum lagi, ban kendaraan yang bocor, ditambal berulang-ulang sampai ban penuh tambalan. Kalau di luar negeri, dibuang dan beli yang baru. Semua menunjukkan bahwa bangsa ini kreatif kan...

Tapi, sayangnya.. Kreativitas bangsa ini merembet ke arah kreatif dalam mencari dan mengumpulkan materi yang tidak halal. Korupsi salah satunya. Masyarakat Indonesia terlalu care dengan keluarganya. Mereka tidak ingin anak cucunya besok jatuh miskin. Jadi, kalau bisa mulai sekarang materi itu dikumpulkan hingga cukup 7 turunan. Akibatnya, yang dirugikan siapa? Bangsa ini sendiri yang duitnya dihabiskan hanya untuk mengurusi keluarga pejabat yang takut miskin tersebut.

Satu lagi potensi kreativitas Indonesia, yaitu kreatif berbohong dan berkelit. Bagaimana tidak, berita KPK vs Polri yang marak akhir-akhir ini menunjukkan kreativitas bangsa ini. Semua saling bersumpah, “Demi Allah!!!”. Lalu dengan intelegensinya yang “tingkat tinggi”, mereka berkelit, bermulut manis, sok-sok berdebat, dan akhirnya menciptakan Drama Reality Show di TV. Ck...ck..ck... Hebat sekali !!!

Lalu, dari semua potensi kreativitas bangsa ini, mana yang paling bagus dan layak untuk kita tiru? Silakan pilih sendiri.
baca selengkapnya......

Rabu, 04 November 2009

Wanita Penjual Roti Sus



Semalam, saya dan pacar makan malam di sebuah warung makan (berlabel chinese food) di Jalan Moses Gatutkaca, Mrican, Yogyakarta. Ramai sekali malam itu. Ya.. seperti malam-malam biasanya. Di mana pengunjung harus makan sambil berdesak-desakan dan buru-buru bergantian dengan pengunjung lain yang mau makan. Tidak ada pengamen di situ, yang ada juru masaknya beraksi memasak dengan api besar.


Sama sekali tidak ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kami duduk di meja yang sama, di tengah, saling berhadapan, dengan menu hot plate udang rica, dan dua gelas es teh. Tapi, satu hal yang berbeda adalah kehadiran seorang ibu paruh baya, rambutnya dipenuhi uban, dengan jariknya menggendong sekeranjang roti sus di depan. Selangkah demi selangkah, perlahan berjalan, dia menghampiri tiap meja dan menawari kami – para pengunjung warung makan, untuk mau membeli roti susnya yang satu plastik berisi tiga buah roti sus kecil.

Akhirnya dia berhenti di meja kami. Pacar saya bertanya, “Pinten Bu?” (Berapa Bu?). Lalu jawabnya, “Gangsal ewu Mas.” (Lima ribu Mas) Pacar saya mencari selembar uang lima ribu di dompetnya dan memberikan padanya. “Matur nuwun Mas..” (Terima kasih Mas) jawabnya. Lalu dengan senyumnya lagi, ibu itu kembali menawari saya untuk mau membeli rotinya. Jawab saya, “Sampun Bu, niki setunggal mawon.” (Sudah Bu, satu saja cukup)

Ibu yang berbaju kuning itu lalu pergi dan kembali menawari pengunjung lain dari meja satu ke meja lainnya. Tapi, tak ada satu pun orang yang membeli roti susnya. Kepergiannya dari meja kami sempat membuat kami diam sesaat, memperhatikannya, dan pembicaraan kami tentang sidang MK yang sedang hot itu menjadi idle sejenak. Saya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pacar saya, ya.. karna saya bukan paranormal. Tapi, sikapnya untuk membeli roti sus seharga lima ribu rupiah itu yang saya suka. Saya lalu berkata padanya, “Ini buat sarapanmu besok pagi ya..”

Setelah kami selesai makan, membayar, dan hendak meninggalkan warung makan itu. Kami kembali berpapasan dengan ibu itu. Dia hendak masuk lagi ke warung makan itu. Lalu dengan senyum khasnya, dia menyapa kami, dan (lagi-lagi) menawari saya untuk membeli roti susnya. Jawab saya, “Sampun Bu, lha niki rotine dereng telas.” (Sudah Bu, ini rotinya belum habis)

Satu kata ingin saya ucapkan padanya: Hebat. Ya, dia benar-benar wanita yang hebat dan pantang menyerah, keluar-masuk warung makan dan ruko-ruko di sekitarnya untuk menjajakan roti susnya. Di malam hari, di mana mama saya sedang tiduran sambil nonton TV, atau mungkin ibu pacar saya sedang ngobrol santai dengan bapak, dia justru berkeliling menjajakan roti susnya. Keadaan yang membuatnya demikian. Tapi, senyum tulusnya itu yang membuat saya terhenyak dan berpikir, “Kapan yaa.. terakhir kali saya melihat orang tersenyum dengan sedemikian tulusnya?”, “Kapan yaa... terakhir kali saya tersenyum dengan tulus dan tanpa beban kepada orang lain?”

Dari senyum wanita itu, saya berusaha menebak, bahwa dia mensyukuri apa yang telah didapatnya. Berapa ribu pun yang didapatnya, “Maturnuwun... Allhamdulilah...” demikian pasti ucapnya. Tidak perlu dipenuhi dengan pikiran ribet, “Kok cuma segini ya dapetnya? Trus besok gue makan apa? Kok cuma segini gaji gue? Gak worth it dengan jerih payah gue selama ini bekerja di kantor ini deh..” Dan masih banyak pikiran ribet kita lainnya.

Mari kita sejenak menyimpelkan (membuat simpel) pikiran kita yang sudah sedemikian high tech nya. Bahwa apa yang sudah kita peroleh sampai detik ini, hendaknya selalu disyukuri. “Maturnuwun... Allhamdulilah...” seperti yang diucapkan wanita itu. Tidak usah terlalu pusing besok makan apa? Target beli ini-itu tercapai atau tidak? Burung pipit yang kecil aja dipelihara Tuhan, masa kita yang besar ini tidak?

Tuhan memberi kita kebijaksanaan untuk berusaha dan berupaya. Tapi bukan untuk serakah, menguasai, atau menyombongkan diri.
baca selengkapnya......

Kamis, 01 Oktober 2009

Bumiku Berguncang (Lagi)



Guncangan itu begitu hebat
Meluluhlantakkan kehidupan dengan cepat
Serasa dunia akan kiamat
Semua berlomba untuk selamat


Yang dibangun lama, runtuh dalam sekejap
Yang dikumpulkan susah, hilang semua
Tangis dan sedih itu meratap
Memanggil Tuhan dan bertanya

Mengapa kami yang mengalami?
Mengapa di kota ini terjadi?
Mengapa harus saat ini?
Mengapa Kau ambil semua dari kami?

Beribu pertanyaan terlontar
Tapi Tuhanku diam tak berkata
Apa Kau tuli tak mendengar?
Padahal kutahu Engkaulah segala Maha

Akhirnya aku sadar Tuhanku lebih hebat
KuasaNya jauh lebih dahsyat
Kalau saja kita mau menghitung berkat
Peristiwa kali ini pun takkan terlewat

Semua pasti ada hikmah
Kalau saja kita mau berserah
Mari kawan bangkit dan jangan berebah
Jalan di depan akan jauh lebih cerah
baca selengkapnya......

Selasa, 25 Agustus 2009

Negara Ceremonial


Indonesia adalah negara ceremonial.

Bayi dalam kandungan usia 7 bulan – ada upacaranya. Bayi lahir – ada selametannya. Bayi usia 8 minggu – ada selematan selapanan. Ulang tahun – ada perayaan ulang tahun. Jadian sama pacar baru – ada makan2nya. Lulus alias wisuda – ada syukurannya. Tunangan – ada pestanya. Nikah – ada pesta besarnya. Usia pernikahan perak atau emas – ada pestanya juga. Nanti ketika sudah waktunya dipanggil Tuhan – ada pesta kematiannya.


Lama-lama, kalau diikutin semua adat kebiasaan di sini, duit itu akan habis hanya untuk upacara-upacara itu. Apalagi kalau mau diturutin semua kata-kata teman, “Kok aku enggak diundang sih?” Makinlah duit kita habis hanya untuk upacara-upacara yang menurut saya – gak penting ini.

Sebenarnya, apa sih tujuan dari seremonial ini? Minta doa pada yang Maha Kuasa supaya diberkati? Kan, sudah sering ke rumah ibadah… Bagi umat Kristen dan Katolik, hari Minggu atau Sabtu, ke gereja. Bagi umat Islam, kan sholat 5 waktu. Dan bagi umat yang lain juga.. sudah bersembahyang minta berkat ke Tuhan atas hidupnya. Masa ya Tuhan tidak mendengar.. Tuhan kan tidak tuli dan tidak buta. Dia pasti kasih berkat buat hidup kita lah…

Setelah dipikir-pikir.. Semua seremonial ini buatan manusia, dan tujuannya juga untuk manusia. Dalam arti, tujuannya untuk harga diri manusia dan untuk ajang pamer.
Dengan berseremonial, manusia akan dipandang oleh manusia lainnya. Lalu pikiran-pikiran dalam manusia pun juga akan bermain-main
“Wah.. dia pasti orang kaya. Baru pesta ulang tahun, sudah meriah gini..”
“Wah, gilaa.. pesta nikahannya mewah gini.”
“Wah, kalo hamil 7 bulan gini cantik yaaa… Semoga anaknya juga cantik dehh..”
“Wah, kantornya besar dan megah yaa…”
Dan “wah .. wah ..” yang lainnya..

Lalu, apakah hidup manusia itu hanya sebatas harga diri saja? Kalau dipikir lebih dalam lagi, sebenarnya iya juga loo.. Supaya dipandang orang punya, jadi pernikahan harus dirayakan besar. Supaya dipandang punya pacar, jadi bikin makan-makan setelah jadian. Supaya dipandang punya anak yang lucu dan sehat, jadi bikin acara selametan. Supaya dipandang punya perusahaan yang keren, bikin deh selametan juga. Supaya dipandang sudah sarjana, bikin syukuran kelulusan. Dan sebagainya…
Untuk orang yang suka pesta, ajang seremonial mungkin akan jadi ajang yang menyenangkan. Seberapapun uangnya kurang, tetap aja akan diadakan (cari utangan sana-sini). Supaya dipandang punya harga diri dan bisa pamer ke temen-temennya. Sstt.. banyak juga loo ternyata orang yang seperti ini.

Tapi buat orang yang mempertanyakan “apa sih tujuan dari ini semua?”, bisa jadi bukan ajang yang harus diadakan. Berdoa secara pribadi sama Tuhan saja cukup. Tidak perlu semua orang tahu bahwa saya sedang berbahagia atau bersedih saat ini. Tidak perlu semuanya dirayakan dengan demikian hebohnya. Cukup saya dan Tuhan saja yang tahu.

Jadi, buat apa bikin resepsi nikah, kalau pemberkatan nikah lebih penting daripada itu? Buat apa bikin acara makan-makan besar pas ulang tahun? Kalau ucapan syukur kepada Tuhan telah diberi umur panjang jauh lebih penting. Buat apa bikin selametan kelahiran? Kalau ucapan syukur dengan doa kepada Tuhan telah diberi anak lucu dan sehat jauh lebih penting.

Lagi-lagi… semua ini adalah buatan manusia. Kalau saya tidak menuruti kata-kata manusia ini, maka mereka pasti akan berkata “Orang ini pelit sekali sih, bikin seremoni aja males banget.” Wahh.. melelahkan juga jadi orang Indonesia, susah juga kalau mau jadi warga Indonesia yang cuek. Katanya lagi krisis, tapi duitnya abis untuk bikin seremoni yang enggak penting begini. Cape de…
baca selengkapnya......

Selasa, 28 Juli 2009

Uang Pajakku Dikemanakan?

Baru kali ini saya membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). Bukan karena saya sedang atau pernah terlibat dalam masalah kepolisian, tetapi untuk memenuhi suatu syarat kelengkapan pendaftaran cpns deplu. Yah.. itung2 uji peruntungan.

Bukan hal yang mudah untuk bisa menembus departemen luar negeri. Saya tahu itu. Tapi, sebuah tekad kuat dalam diri ini supaya saya segera keluar dari kota ini, meninggalkan segala kepenatan di dalam rumah. Jadi, saya anggap tekad dan semangat yang kuat ini sebagai motivasi terbesar saya untuk berjuang sebaik mungkin.

Sebenarnya bukan itu inti dari tulisan saya. Lebih pada “sesuatu” yang harus saya bayar untuk bisa mendapatkan selembar SKCK. Mulai dari 5000 rupiah di ketua RT, 5000 rupiah di desa, 5000 rupiah di kelurahan, 5000 rupiah di koramil, 5000 rupiah di polsek, 5000 rupiah di sidik jari polres, 5000 rupiah di polres. Jadi total saya mengeluarkan 30.000 rupiah.

Pungli-pungli kecil yang dianggap sebagai “biaya administrasi” inilah yang sungguh miris sekali. Ketika “bayar pajak” didengung-dengungkan oleh setiap kantor pajak bahkan oleh media massa. Dengan berbagai punishment dilontarkan supaya membuat kita buru2 mendaftarkan npwp kita masing-masing. Ternyata, di sudut-sudut birokrasi pemerintahan yang kecil-kecil ini masih juga dimintai yang namanya “biaya administrasi”.

Saya jadi bertanya, buat apa saya bikin NPWP, buat apa saya bayar pajak tiap bulannya, buat apa gaji saya dipotong, dsb. Kalau toh, ternyata saya tidak mendapatkan semua yang saya butuhkan. Okey.. kalau mereka yang bekerja di pemerintahan terutama perpajakan akan berkata, “Lho, ini jalan raya kan hasil pajak, listrik yang menerangi jalan ini juga hasil pajak.”

Maka saya pun akan berkata, “Okey… I know.. Tapi, saya butuh sehat, saya butuh perawatan dokter ketika saya sakit. Dan sayangnya itu tidak saya dapatkan di negara ini.”

“Lho? Kamu kan bukan tergolong masyarakat kurang mampu. Jadi tidak berhak dapat itu.”

Sekali lagi saya berusaha membantah, “Saya tidak meminta pemerintah mencover semua kebutuhan primer saya. But, at least seper sepuluh dari total yang saya butuhkan. Misalkan, biaya kesehatan, saya dapat 50.000. Kalau saya gengsi menggunakan kelas itu, saya bisa up-kan sendiri dengan membayar sendiri sisanya. Adil kan…?”

Lalu, apa hubungannya dengan pungli-pungli yang harus saya bayar untuk dapat selembar SKCK tadi? Ya.. ini sama saja. Negara ini dililit oleh birokrasi yang rumit dan lama-lama bisa mencekik sendiri. Sayang sekali, sebenarnya bisa diringkas kan.. Negara ini bukannya tidak mampu, negara ini hanya tidak mampu untuk berpikir bahwa sebenarnya negara ini mampu.

Miris juga rasanya, lihat seorang saudara saya yang baru saja kerja di kantor perpajakan dan belum ditempatkan. Tetapi baru beberapa bulan bekerja (belum sampe 6 bulan), ia langsung bisa membeli mobil livina baru gres tahun 2009. Inikah hasil yang namanya “rapelan”? Di saat orang-orang bekerja keras pagi-siang-malam, susah payah ia membeli mobil, dan mereka-mereka yang kerja di pemerintahan kerja santai2, makan pungli alias uang rakyat, dan 3 bulan kemudian beli mobil baru deh…

Tidak heran, banyak orang beramai-ramai pingin jadi PNS. Karena yang diinginkan adalah keamanan finansialnya. Padahal sebenarnya tantangan kerja di PNS itu tidak lebih besar dibanding karyawan swasta. Tapi, yah.. bagaimana lagi. PNS digaji rakyat, padahal rakyat Indonesia itu berjuta-juta jumlahnya, jadi hitung saja PNS dapat berapa rupiah tiap bulannya.

Lalu bagaimana dengan saya yang notabene juga tertarik bekerja di departemen pemerintahan? Tidak dipungkiri, saya juga membutuhkan financial yang menggiurkan yang ditawarkan departemen tersebut. Kalau mau ditelisik lagi lebih dalam, ini bukan keinginan saya pribadi, melainkan keinginan para orang tua supaya anaknya bisa dibanggakan kerja di departemen pemerintahan. Orang tua memang narsis, gak mau kalah. Kalau budhe saya bisa membanggakan anaknya yang baru saja beli livina, maka orang tua saya memaksa saya bekerja ekstra dan mendaftar kerja di departemen pemerintahan, supaya besok bisa beli rumah dan bisa lebih dibanggakan.

Ah, sudahlah… daripada curhat colongan.

Lebih baik saya bekerja dengan lebih jujur, tanpa memakan gaji buta. Kalau bekerja di perusahaan swasta saja saya bisa belajar jujur, besok jika saya diperkenankan bekerja di departemen pemerintahan, saya akan terus berupaya jujur. Dan sedikit memperbaiki kebolongan2 pemerintahan di sana-sini, melalui pemikiran saya. Mulia sekali ya impian saya ini…. (boleh sedikit narsis kan..)

Negara Indonesia memang sudah terlalu besar dan terlalu sulit mengelola tiap-tiap personilnya. Tapi sekali lagi yang mau saya tegaskan, Negara ini bukan tidak mampu, tetapi tidak mampu untuk berpikir. Jadi, mampulah untuk berpikir bahwa Negara ini mampu. Mampu menyejahterakan seluruh rakyatnya dan bukan hanya rakyat pegawai negeri sipil saja.

baca selengkapnya......

Kamis, 25 Juni 2009

Agama yang Berpolitik

Saya tergelitik ketika melihat dan membaca berita tentang “fitnah tim JK-Wiranto” bahwa “istri Budiono adalah seorang katolik”. Saya tidak tahu persis itu fitnah atau memang benar. Atau mungkin dulu istri beliau memang seorang katolik kemudian mualaf menjadi seorang muslimin. Saya tidak tahu persis. Tapi yang menggelitik saya adalah tentang isu-isu keagamaan yang diangkat oleh para wapres dan cawapresnya, atau mungkin oleh tim suksesnya.

Saya heran dengan negara ini yang masih juga mencampur-adukkan antara agama dan politik, dan yang masih juga mudah dipecah belah untuk urusan agama. Agama memang baik dan menjadi dasar moralitas seseorang yang akan berpolitik. Orang yang taat beribadah akan punya moralitas tinggi, lalu nanti dia akan menjadi pemimpin yang baik dan bisa berpolitik dengan baik. Baik dalam arti memimpin dengan hati, penuh kebijaksanaan, menghargai orang lain, menjauhi keinginan setan seperti KKN, menjegal lawannya dengan licik, dsb.

Inti dari semua agama adalah ingin membuat pemeluknya punya moralitas tinggi. Masa ada sih agama yang mengajarkan hal-hal buruk pada pemeluknya. Di sini konteksnya adalah 5 agama yang diakui di negara kita loo… Yaa.. saya sangat percaya semua agama itu baik adanya. Semua agama itu mengajarkan moralitas yang baik, tanpa membuat agama tertentu lebih spesial, lebih bermoral, dll.

Nah… ditarik ke urusan politik. Seharusnya dalam politik terdiri dari orang-orang yang bermoral baik, yang taat beribadah apapun itu agamanya. Negara kita ini negara berdasarkan hukum bukan berdasar agama. Norma-norma yang berlaku di negara ini, norma hukum dan bukan norma agama. Apalagi negara kita ini sudah sangat besarrr, sangat luasss, masyarakatnya pun sangat majemukkk. Kalau mau membuat negara ini dijalankan berdasarkan norma agama tertentu sudah sangat terlambat. Lebih baik membuat negara kecil sendiri dengan peraturan dan undang-undang sendiri.

Jadi, kalau saya berpendapat… Saya tidak peduli presiden saya (juga istri/suami, anak, atau keluarganya) nanti seorang Muslim, Kristiani, Katolik, Hindu, atau Budha. Yang pasti presiden saya harus menghargai perbedaan di negara ini, merangkul semua kepentingan di negara ini, mempertahankan perbedaan di negara ini, dan tidak fanatik terhadap satu sisi saja. Ya, karena kita tinggal dan hidup di Indonesia – Negara yang Bhineka Tunggal Ika.


baca selengkapnya......

Senin, 22 Juni 2009

Membaca Iklan Politik Pemilu

Di era yang mengagungkan demokrasi dan kebebasan ini, semua orang bebas mengekspresikan pemikirannya dalam bentuk apapun juga. Tulisan, lagu, iklan, puisi, cerita, dll. Sehingga, kali ini kreativitas semua orang muncul bertebaran di mana-mana. Sudah tidak zamannya lagi orang-orang terkukung dengan komando orang tertentu. Dan sudah saatnya orang-orang yang tidak berpikir kreatif untuk melengserkan diri digantikan orang-orang kreatif yang mampu berpikir dengan cara yang tidak biasa.

Di pemilu 2009 ini, terlihat sekali masing-masing calon presiden dan wakil presiden menunjukkan kekreatifannya melalui iklan. Iklan dianggap sebagai sarana untuk menyosialisasikan pemikiran dan rencana para kandidat, atas nasib bangsa ini ke depan. Jadi tidak heran, mereka mau membayar mahal untuk 10 detik iklan.

Manusia yang melek televisi masih lebih banyak dibandingkan orang yang melek surat kabar. Jadi, iklan-iklan di televisi inilah yang dianggap ampuh untuk memengaruhi penontonnya. Tidak pastinya mereka berlomba-lomba mengiklankan dirinya di jam-jam prime time.

Melihat iklan-iklan pemilu ini bertebaran di semua stasiun TV ini, saya mencoba mengamati sisi kekreatifitasan para kandidatnya. Kita hidup di era platinum yang semuanya serba kreatif. Menghadapi hidup dan menyelesaikan hidup juga harus kreatif. Jadi, cara menarsiskan diri pun juga musti kreatif.

Dari ketiga kandidat tersebut, saya mencoba membuat ranking berdasarkan kekreatifitasannya. Rangking 1 – Jusuf Kalla, Ranking 2 – Megawati, Ranking 3 – SBY.

Iklan itu media yang singkat untuk promosi, jadi PR besar bagaimana bisa menjelaskan maksud iklan tersebut dalam waktu yang singkat.

Saya menaruh Jusuf Kalla di ranking 1. Karena setiap iklan beliau memiliki kekreatifitasan dan pesan tertentu yang ingin dibawanya. Misal iklan “JK” – dengan menyingkat namanya dengan kepanjangan yang macam2 itu. Bermaksud bahwa beliau adalah orang yang tepat bagi masyarakat yang menginginkan Jalin Kerukunan, dll. Trus, iklan yang bertema “Batik” dan “Sepatu” mau menunjukkan bahwa beliau peduli dengan industri kecil yang menjadi kekhasan Indonesia. Ada pula iklan bertema “Aceh” yang mau menunjukkan bahwa beliau ini peduli sekali dengan kedaulatan RI. Setiap iklan memiliki satu pesan yang khas dan mudah ditangkap, sehingga mudah sekali diingat. Yaps, ini dia kunci iklan yang menurut saya benar.

Lalu saya menaruh Megawati di ranking 2. Karena iklan beliau ini seakan-akan ingin menyampaikan banyak pesan. Semua pesan, semua ke-OK-annya ingin dimasukkan dalam satu iklan. Tapi sayangnya, ini membuat iklan itu susah ditangkap & susah diingat esensinya. Iklannya yang panjang, isinya banyak, tapi tidak banyak yang masuk ke otak penonton. Sungguh sayang sekali.. Ohya, sedikit melenceng. Iklan beliau di terakhir, ada tulisan “No. 1. Megawati – Prabowo”, lalu tulisan itu dicontreng. Uniknya, gambar contreng itu berwarna biru, bukan merah seperti logo PDI-P dan Gerinda. Artinya…. Simpulkan sendiri saja…

Dan yang terakhir SBY di ranking 3. Ini dia yang sangat disayangkan, yaitu karena iklan beliau yang copy paste dari jingle Indomie. Meski urusan royalty dengan di pemilik jingle tersebut sudah beres, tapi menurut saya ini menurunkan poin beliau tentang kekreatifitasan. Daripada bayar mahal Mike Ind. Idol dan royalty jingle, bukankah lebih baik bikin jingle sendiri yang singkat dan langsung nyakut di otak penonton. Jingle indomie memang sudah familiar di telinga penonton, tapi masalahnya beliau adalah kandidat orang tertinggi di Indonesia. Dengan me-copy paste jingle ini bisa menurunkan kredibilitasnya dan orang-orang (terutama) dari dunia kreatif akan menyangsikan kebijakan-kebijakannya yang seakan-akan menghalalkan co-pat dan menumpulkan dunia kreatif di Indonesia.

Yupz… tulisan ini bukan bermasud untuk mengarahkan kalian memilih kandidat tertentu. Saya hanya memotret dari satu sisi bagian, yaitu dari iklan politiknya. Padahal, untuk memilih presiden itu harus melihat dari semua sisi. Masa depan bangsa juga akan menentukan masa depan kita. Jadi, selamat memilih…

baca selengkapnya......

Selasa, 09 Juni 2009

RS OMNI vs Prita Mulyasari

Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan kasus Prita Mulyasari dengan RS OMNI Internasional. Berita ini begitu heboh, bahkan sampai menutup pemberitaan yang lain seperti kasus Ambalat, jatuhnya pesawat Herkules, dan pembunuhan Nassrudin. Sampai-sampai di Facebook pun juga ramai dibicarakan, status dukungan terhadap Prita Mulyasari, atau miris terhadap masalah ini, berlomba-lomba ditulis oleh orang-orang di status Facebooknya. Ada juga grup “Dukung Prita Mulyasari” dengan comment yang banyak sekali, intinya dukungan untuk Prita.

Saya tidak mau membahas mendalam tentang dukungan saya kepada salah satu pihak. Bisa-bisa saya juga kena jerat UU ITE tentang pencemaran nama baik tersebut. Wah… jangan sampai deh… :-)

Yaa.. Saya cuma mau berbagi pemikiran saya tentang kasus ini. Bagi saya, kasus ini memang miris sekali. Prita dijerat oleh UU yang baru seumur jagung, karena baru disahkan bulan April 2008 lalu. Saya jujur tidak tahu bagaimana proses pembuatan UU tersebut, karena saya sendiri tidak merasa UU ini ramai dibicarakan sebelumnya. Tidak seperti UU Pornografi yang dilempar dulu ke publik, bahkan dibuat debat di televisi swasta. Jadi mikir nii… jangan-jangan UU ini take it from granted. Ada enggak ya, trial and error untuk setiap UU yang dibuat pemerintah?

Dari yang saya pernah baca di Kompas, Senin 8 Juni 2009. Dari situ saya baru tahu bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia sudah diminta untuk menghapus pasal tentang pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan. Tapi, sampai sekarang masih juga belum dilaksanakan.

Menurut saya memang bener deh, pasal yang menyinggung tentang pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan ini adalah sesuatu yang relatif. Ketika saya mengatai seorang A dengan kalimat, “kamu jelek sekali. Kalau begitu tidak ada yang mau berteman denganmu,”. Mungkin dia bersikap biasa saja dan tidak membalas kata-kata saya. Tapi lain halnya jika saya mengatai seorang B dengan kalimat yang sama. Mungkin dia akan marah dan menuntut saya telah mencemarkan nama baiknya. Intinya, tingkat sensitifitas orang itu beda-beda.

Fiuuhh… miris sekali. Bukankah UU dan hukum itu sifatnya pasti dan diberlakukan sama ke semua pihak. Melihat ini, saya jadi khawatir dengan nasib penegakan hukum Indonesia untuk selanjutnya. UU yang disusun oleh DPR, yang notabene mereka digaji besar dari uang rakyat. Tapi, UU itu sendiri dibuat untuk menjerat rakyat. Mereka yang punya super power dan money power menggunakan UU itu dengan semena-mena. Jadilah kasus Prita ini terjadi.

Melihat kasus Prita ini, saya rasa Prita sedang apes karena bertemu dengan pihak industri yang sangat sensitif, dan seperti yang dibilang seorang dokter ketika diwawancarai di TV – bahwa industri tersebut bersikap cukup arogan.

Pihak RS OMNI pun juga tidak kalah apesnya. Mereka hanya berniat untuk menuntut Prita dan menyelesaikannya di meja hijau. Tapi ternyata kasus ini tercium media elektronik alias TV. Jadinya, ramai-ramailah massa menghakiminya.

Kasus Prita ketika dilayani dengan tidak baik di RS mungkin sebuah kasus yang sederhana. Tapi, kemudian Prita curhat ke temennya dan temennya menyebarluaskan ke milis-milis. Akhirnya jadi tidak sederhanalah kasus itu. Didukung juga, tata bahasa yang kemudian dijadikan alasan pihak penuntut. Gaya bahasanya mungkin kurang halus dan tidak ada editornya di situ.

Reaksi RS OMNI pun juga terlalu berlebihan. Dengan memasang iklan besar setengah halaman SK Kompas pada bulan November 2008. Orang-orang pembaca Kompas jadi penasaran dan mencari tahu masalahnya apa sih, kok sampai masang iklan gede begitu. Saya yakin memori itu tidak akan lama, mereka akan segera melupakan iklan besar tersebut. Tapi sayangnya, tuntutan RS OMNI dan memenjarakan Prita yang tercium media TV kali ini membuat masalah jadi runyam. Orang yang dulu sudah lupa dengan iklan besar tersebut, jadi berusaha mengingat lagi (seperti saya ini), dan orang yang tidak pernah tahu atau tidak pernah mendapat email dari Prita tersebut jadi berusaha mencari tahu. Lalu ramailah massa menghakimi OMNI.

Padahal sebenarnya, masalah sederhana itu tidak usahlah dibahas terlalu bahkan sampai tuntut menuntut ke meja hijau. Masyarakat di Indonesia yang melek internet masih lebih sedikit dibanding yang melek televisi. Meski pelanggan OMNI itu rata-rata orang yang melek internet, tapi kenyataannya tidak semua orang yang melek internet itu tahu masalah ini. Jadi, karena sudah terangkat televisi.. OMNI kena bumerangnya sendiri.

Kasus Prita dianggap sebagai penyelamat kasus-kasus serupa lainnya yang sampai ke meja hijau tapi tidak tercium media. Dan kasus ini digunakan para capres untuk menyuarakan pendapatnya demi meraih simpati masyarakat. Belum lagi, kasus ini juga menjerat si Jaksa dan juga si Pembuat UU. Duh.. duh.. jadi lingkaran setan gini. Semua saling bertautan. Lalu sampai kapan ya akan selesai? Kasian Prita enggak bisa kerja.

Yaa… untuk kita sebagai orang awam (konsumen/pelanggan) dan juga sebagai industri atau pemerintah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Seperti pepatah “Mulutmu Harimaumu”. Kata-kata kita bisa jadi bumerang dan sandungan buat kita sendiri. Jadi lebih baik berhati-hati sajalah. Apalagi karena kita tinggal di Indonesia – di mana segala sesuatunya masih belum pasti dan belum stabil ini.

baca selengkapnya......

Minggu, 17 Mei 2009

Manusia itu tidak ada yang adil


Adil itu artinya sama rata, tanpa membeda. Jadi adil itu susah. Kalau orang-orang yang berpoligami mengatakan bahwa “sebisa mungkin saya akan berlaku adil”, saya tidak percaya. Kalau orang tua yang punya banyak anak mengatakan bahwa “saya melakukan hal yang adil untuk anak-anak saya”, saya rasa pun juga tidak seluruhnya bisa. Dan kalau atasan mengatakan bahwa “saya memperlakukan karyawan saya dengan adil tanpa membeda”, saya pun semakin tidak percaya.

Manusia itu selalu ingin yang terbaik dan baik untuk dirinya juga untuk orang-orang terdekatnya. Jadi, dia akan memilih orang lain yang bisa memberi yang terbaik baginya itu. Suami yang berpoligami akan lebih memilih istri yang cantik dan bisa melayaninya di ranjang. Orang tua yang punya banyak anak akan lebih memilih anak yang pintar, patuh, dan mungkin cantik atau tampan. Atasan yang punya banyak karyawan akan lebih memilih karyawan yang pintar, tekun, inisiatif, dan bahkan cantik atau tampan.

Menyedihkannya lagi, jika sekuat apapun orang lain yang diperlakukan tidak adil itu berjuang menuntut keadilan. Biasanya itu dianggap sebelah mata. Dipuji hanya sesaat, dilambungkan hatinya hanya sebentar, lalu selanjutnya dibandingkan lagi dengan “si kesayangannya”. Apa pun yang dilakukannya tidak pernah dianggap sempurna bahkan kurang dibandingkan si kesayangannya ini.

Akan semakin parah lagi, kalau si kesayangan ini bukannya membantu, tapi malah berlenggang dengan santai karena dialah si kesayangan. Jadi tak perlu kerja keras karena semua pasti dianggap bagus oleh di punya wewenang.

Yah, pada dasarnya manusia di dunia ini tak ada yang bisa berlaku adil. Saya tak lagi percaya dengan kata-kata “saya akan berlaku adil”. Karena kenyataannya keinginan mendapatkan terbaik itu akan menuntutnya berlaku tidak adil.

Siapa yang sedang diperlakukan dengan tidak adil? Mungkinkah ini salah satu bentuk dari rasa iri hati? Menginginkan sesuatu yang dimiliki orang lain sehingga merasa diperlakukan tidak adil? Bisa saja, karena selain manusia itu pada dasarnya tidak bisa berbuat adil, dia juga selalu menginginkan milik orang lain (sekecil apa pun itu).

Lalu bagaimana sebaiknya?

Yah, siapapun yang sedang berlaku tidak adil sebaiknya mulai sekarang benar-benar berusaha adil. Dengan tidak hanya mengatakannya tapi juga berlaku. Tidak hanya tersenyum, menyapa, bercanda, memuji, memanggil nama, atau apapun itu kepada “si kesayangannya”. Lalu untuk yang sedang diperlakukan tidak adil, buat apa pusing-pusing memikirkan itu. Biarkan saja si kesayangan melenggang dengan santai. Tak perlu iri hati, tetapi tetap tunjukkan bahwa kalian itu bisa lebih bahkan jauh lebih dibandingkan si kesayangan. Wah, jadi pada dasarnya manusia itu punya sifat persaingan dong? Iya, persaingan untuk mendapatkan keadilan dan yang terbaik untuk dirinya.

baca selengkapnya......

Senin, 30 Maret 2009

Big Give

Berbuatlah baik selama masih punya kesempatan di dunia ini. Jangan pikirkan balasannya, karena semua itu akan dibalas dengan jalan yang tak dikira dan oleh orang yang tak disangka.

Kadang kalau kita ingin berbuat baik kepada orang lain, kita selalu memikirkan balasan dari orang tersebut. Ya, dunia jaman sekarang ini mengajarkan pada kita untuk semakin perhitungan. Apa-apa dihitung, apa-apa ditimbang. Untung ruginya, berat ringannya. Dan yang paling parah, semua dihitung berdasarkan angka dengan satuan rupiah.

Memang tidak memungkiri, dengan rupiah kita memang bisa bertahan hidup. Tapi karena rupiah juga kita bisa mengakhiri hidup ini. Tidak ada yang kekal selama kita hidup di bumi ini. Begitu juga dengan rupiah. Sayangnya… itu salah satu faktor yang membuat orang-orang malas berbuat baik.

Teman saya pernah bercerita, ketika dia berdebat dengan orang tuanya perihal ke(terlalu)baikannya meminjamkan barang-barang miliknya ke salah satu temannya. Dan teman saya itu hanya berkata kepada orang tuanya (juga pada saya), bahwa dia berbuat baik memang tidak memikirkan balasannya, tapi ia percaya bahwa kebaikannya itu akan dibalas oleh Tuhan dengan tangan yang lain alias melalui tangan orang lain. “Tuh kan bener, selama ini gue selalu bantuin dia tanpa memikirkan balasannya. Tapi Tuhan itu baik, dia balesnya lewat elo. Elo temen gue yang selalu bantuin gue seperti gue bantuin temen gue itu. Berarti lewat elo tangan Tuhan itu bekerja buat gue,” katanya pada saya.

Tersentak. Amazing banget kata-katanya. Ternyata tangan saya ini adalah tangan Tuhan. Tangan yang Tuhan ciptakan untuk saya membantu lingkungan sekitar. Ini seperti mata rantai yang tidak pernah putus. Teman saya membantu temannya, dia mendapat balasan dari saya. Saya membantu teman saya itu, saya akan mendapat balasan dari kalian. Dan seterusnya….

Jangan dipikirkan mata rantai yang tidak akan putus itu. Yang perlu kalian pikirkan hanyalah terus menyambung mata demi mata rantai itu. Jangan dipikirkan juga kepada siapa saya membantu atau dari siapa saya mendapat bantuan. Bisa jadi tangan Tuhan itu datang melalui orang yang sama sekali tidak kita kenal sebelumnya.

Seperti yang saya tonton di setiap episode Kick Andy. Tayangan-tayangannya selalu inspiratif. Ada banyak orang yang berbuat baik tanpa memikirkan sama sekali balasannya. Dia dicemooh banyak orang. Dia yang terlalu jujur, justru tidak mendapat apa-apa karena dimanfaatkan. Dia yang memikirkan orang-orang lain, malah tidak dipikirkan oleh orang-orang tersebut. Mereka melakukan kebaikan bertahun-tahun tanpa memikirkan balasannya. Siapa sangka mereka mendapatkan balasan beberapa tahun setelahnya melalui Kick Andy.

Yaa… Tuhan sudah membuat mata demi mata rantai kebaikan di kehidupan ini untuk saling terkait dan berbuat baik. Kita adalah mata rantai itu dan kita adalah tangan Tuhan yang dipakai untuk menyalurkan kebaikan. Sudahkah kita memakai tangan ini dan menyambung mata rantai kebaikan ini.

baca selengkapnya......

Senin, 23 Februari 2009

Musisi Kembar

Menjadi musisi bagi beberapa orang sepertinya mudah sekali. Asal punya kemampuan menyanyi yang oke, penampilan yang menarik, beberapa bakat tambahan lainnya, ditambah (kadangkala) punya modal yang besar di segi financial – produksi berapa ratus ribu keping CD pun enggak masalah mungkin, yang penting lagunya diterima pasar dengan baik dan laku. Berbekal itu semua, rasanya semua menjadi mudah.

Saking banyaknya musisi di tanah air ini, saya sampai bingung dan lupa dengan setiap penyanyi dan lagunya. Apalagi saya bukanlah seorang pengamat musik, melainkan hanya seorang penikmat musik. Tanpa harus memperhatikan siapa yang nyanyi, yang penting lagunya bagus, liriknya apik, lalu saya suka. That’s all.

Di kantor, ada seorang teman yang benar-benar ter-update playlist lagunya. Bahkan lagu yang belum ada video klipnya di TV pun dia punya. Jadi, ketika dia memutar lagu di komputernya, saya hanya mendengarkan tanpa memperhatikan siapa yang nyanyi. Saya hanya menebak, “Oo.. ini suaranya si A. Wah, dia sudah bikin album baru yaa..”.

Kira-kira dua bulan saya mengira bahwa lagu itu dinyanyikan oleh si A. Tapi ketika saya melihat video klipnya di TV, barulah saya tahu bahwa penyanyinya bukan si A. Contohnya saja; Ello – Masih Ada Cinta, saya mengira yang nyanyi Glenn Fredly, Maia dan Cinta Laura - Pengkhianat Cinta, saya mengira yang nyanyi Mulan Jameela, Nindy – Cinta Cuma Satu, saya mengira yang nyanyi Audy, dan Kotak – Masih Cinta, saya mengira yang nyanyi Utopia.

Wah, ini kesalahan ada pada kuping saya atau memang pada penyanyi yang tidak punya ciri khas lagi yaa… Saya masih ingat, ketika di acara adu bakat penyanyi, sang komentator selalu berkata “Kamu harus punya ciri khas sendiri. Jadi ketika saya dengar suaramu di radio, saya langsung tahu itu kamu.” Kata-kata itu terus saya ingat sampai sekarang, meskipun saya bukan seorang penyanyi. Sehingga, saya selalu salut dengan penyanyi yang benar-benar punya ciri khas.

Di luar itu semua, bolehlah… Karena lagunya memang lumayan bagus dan enak untuk didengar. Tapi, melihat maraknya industri musik saat ini, seharusnya menjadikan semua pihak yang terjun di industri musik lebih memperhatikan persaingan yang ada. Bukan asal punya modal kuat dari segi financial saja, tapi juga memperhatikan pasar, kemampuan entertain, ciri khas musik dan suara penyanyi, serta jangan sampai bikin satu album langsung bubar. Itu mah, numpang tenar sesaat aja.. dan musik dijadikan batu loncatan. Wah, kalau musisi senior tahu seperti ini, bisa saja mereka nangis miris.

Memang tidak ada yang baru di bawah matahari. Tapi paling tidak, dimodifikasilah sedikit supaya ada perbedaan dengan penyanyi lain yang mungkin menjadi kiblat itu tadi. Kekreatifan itu pastilah akan mendapat apresiasi lebih dari sesama musisi lain dan juga para penikmat musik – seperti saya..

baca selengkapnya......

Kamis, 19 Februari 2009

Nge-Slank bareng Garin Nugroho dan Generasi Biru

“Pasti kalo film ini muncul di jaman Soeharto, sudah dicekal” kata seorang teman ketika kami sedang menonton film karya Garin Nugroho – “Generasi Biru”. Film ini dimainkan oleh Slank, sebuah band yang usianya bahkan lebih tua daripada usia saya 25 thn.

Khas sekali film Garin. Menurut saya, dari scene satu ke scene lainnya susah dimengerti, karena kesannya enggak nyambung. Tapi, setelah hampir akhir2 film, barulah kita bisa berkata “Oo.. jadi maksudnya tuh gini too…”

Pantas juga ketika di brosurnya ditulis “Dari ‘Opera Jawa’ ke ‘Rock and Roll’”, karena film ini memang opera jawa (film Garin sebelumnya) banget tapi dikemas dengan nge-slank. Kalau di “Opera Jawa” dulu, jujur saja saya tidak begitu mengerti esensi penting dari film itu. Mungkin saja karena ketika itu, otak saya belum dipaksa berpikir kritis dan dewasa. Tapi melihat animo masyarakat, sepertinya justru film “Opera jawa” yang heboh sekali penontonnya. Sampai-sampai pemutarannya di Jogja diperpanjang. Bagaimana nasib film “Generasi Biru” ini yaa… Ah, terlalu dini untuk mereview.

Film “Generasi Biru” ini beda dan lebih meremaja. Ada gokilnya, ada nyleneh ke arah ‘saru’nya (tapi emang ini kan yang digemari anak2 sekarang), ada sisi kemanusiaannya, dan ada kritik sosialnya. Jadi, itulah kenapa teman saya tiba2 menyeletuk demikian.

Sekarang kita memang hidup di generasi biru, yang merdeka dan bebas berekspresi serta berpendapat. Tapi seharusnya kebebasan itu digunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan asal manut dengan yang ketok palu, tapi juga bukan asal semprot tanpa pemikiran yang matang.

Film ini mengingatkan kita bahwa negara ini pernah mengalami tragedi kemanusiaan besar-besaran, bahkan kalau mau ditelusuri di setiap provinsi mungkin saja masih ada. Mulai dari kerusuhan Mei 1998, Konflik Ambon, krisis gizi, krisis pangan dan air, dll.

Menurut saya, disinilah hebatnya Slank dan Garin Nugroho. Ketika genenasi biru sesungguhnya ada di tangan remaja, padahal remaja adalah saat rentan dengan berbagai godaan. Lalu, film ini muncul dengan maksud mengajak mereka supaya lebih peduli dengan negaranya. Serta benar-benar menanamkan P.L.U.R – Peace.Love.Unity.Respect dalam diri setiap generasi biru – generasi bangsa.

Yah, sekarang kita memang tidak hidup lagi di jaman kuping kita ditutup, ruang gerak kita dibatasi dengan kerangkeng, atau manusia yang tidak dimanusiakan. Meski, sekarang ini masih banyak kejadian yang seperti masa-masa itu. Tapi, mungkin patutlah kita bersyukur karena negara kita sudah banyak berubah, yang perubahan itu dilakukan oleh para generasi biru dan untuk generasi biru.

Coba saja deh, tengok negara tetangga di Korea Utara dengan paham komunisnya. Sampai sekarang ini mereka begitu mengidolakan “the great jenderal”nya yang sudah meninggal. Bahkan fotonya pun disembah-sembah dan tak boleh geser sedikit pun dari gantungan. Mereka diajarkan anti-Amerika, padahal pemimpin barunya sekarang diduga diam2 mengonsumsi produk Amerika. Dan lucunya, lirik lagu kebangsaannya ada kata2 pujaan kepada “the great jenderal”.

Wah, untunglah negara kita telah melewati masa-masa itu. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dipelajari. Dan… coba kalau film ini dibuat oleh warga Korea Utara ya? Mungkin nasibnya seperti surat kabar Indonesia jaman dulu.

baca selengkapnya......

Rabu, 14 Januari 2009

Kata-Kata Aneh

Bahasa ini makin lama makin aneh. Dikatakan ini adalah bahasa gaul tapi artinya jadi aneh. Berikut ini, beberapa kata “aneh” yang saya temui di sekitar:

1. CRC – Club Remaja Community

Saya baca tulisan ini di jaket seorang cowok di sekitar Condongcatur, Yogyakarta. Apa yang aneh? Bukankah Club dan Community artinya kurang lebih sama? Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Club atau dalam bahasa Indonesia Klub, berarti perkumpulan yang kegiatannya untuk maksud tertentu. Sedangkan Community atau Komunitas, berarti kelompok organisme (orang dsb) yang hidup dan saling berinteraksi di suatu tempat tertentu. Jadi, jika ditarik benang merahnya Club dan Community artinya sama-sama perkumpulan orang-orang untuk kegiatan tertentu. Lalu? Ya, saya melihat ada pengulangan tidak penting di sini.

2. Menu: Fried Chicken – Ayam Goreng – Ayam Bakar

Saya baca tulisan ini di sebuah warung makan di Jl. P. Mangkubumi, Yogyakarta. Cukup menggelitik. Bukankah fried chicken itu dalam bahasa Indonesia artinya ayam goreng. Lalu kenapa, di sampingnya ditulis ayam goreng juga? Hhmm… saya melihat ada sebuah kecenderungan masyarakat Indonesia yang menganggap bahwa Fried Chicken adalah ayam goreng bertepung, seperti punya KFC, McD atau restoran fastfood di tanah air ini. Sedangkan Ayam Goreng adalah ayam yang benar-benar digoreng dengan bumbu asli Indonesia. Jadi, untuk menunjukkan bahwa warung makan itu menyediakan kedua jenis ayam tersebut, maka kedua nama itu ditulis di daftar menunya. Lucu juga…

3. Rekonstruksi Ulang

Ini banyak tertulis di media televisi ketika ada reka ulang adegan pembunuhan. Padahal arti rekonstruksi adalah penyusunan kembali. Nah, ketika ditambahkan kata “ulang”, jadinya penyusunan kembali ulang dong.. Lagi-lagi ada pengulangan tidak penting di sini.

4. Di Jual

Saya baca kata ini di Jl. Raya Tajem, Maguwoharjo, Yogyakarta. Pemenggalan kata di- dipakai ketika ingin menunjukkan tempat atau waktu. Misalnya; di sini, di antara, di Solo, dsb. Lainnya, seharusnya kata “di” dan kata belakangnya, disambung. Jadi, seharusnya kata di jual tidak dipisah, melainkan disambung. Hhmm… Mungkin yang nulis kata itu ingin menunjukkan bahwa nama bangunan itu adalah “jual”, jadi tulisannya “Di Jual”.

5. Secara

Ini dia yang paling bikin saya gemes. Ketika pelajaran bahasa Indonesia, bukankah sudah diajarkan bahwa secara berarti dengan cara. Kenapa kok jadi salah kaprah gini. “Secara gito lo, dia kan cowok gue.”, “Secara, udah capek2 bikin ternyata gak dipake.” Nah, kalau kalimat itu diartikan menjadi “Dengan cara gito lo, dia kan cowok gue.”, “Dengan cara, udah capek2 bikin ternyata gak dipake.” Jadi aneh kan artinya. Seharusnya kata secara kan dipake dalam kalimat “Mereka datang secara bersamaan” – “Mereka datang dengan cara bersamaan.”Wah.. wah.. kok jadi salah kaprah gini sih?

6. Silahkan masuk…

Kalimat ini cukup sering terucap dan saya baca di beberapa cerita pendek. Apa yang salah? Dalam KBBI, kata yang benar seharusnya “Silakan masuk” Dan bukannya “Silahkan masuk”. Tidak ada huruf ‘h’nya. Inilah yang tidak banyak orang tahu.

7. Resiko

Ini juga tidak banyak orang tahu. Dalam tulisan, bukan kata “Resiko”, yang benar adalah “Risiko”. Apapun konteksnya, yang benar adalah kata “Risiko”.

8. Jl. Ring Road

Ini sering diucapkan oleh masyarakat, terutama di sekitara Yogyakarta. “Kemarin ada kecelakaan di Jalan Ring Road Utara”. Bukankah kata Road dalam bahasa Indonesia berarti jalan raya. Nah, ketika digabungkan dengan kata lain, Jl. Ring Road, maka terjadi pengulangan arti dong…

9. Rp. 10.000,00

Ketika tulisan jumlah rupiah ini dituliskan, yang seharusnya benar adalah “Rp 10.000,00”. Tidak menggunakan titik. Yah, tapi sepertinya banyak yang lupa…

10. Facial Punggung

Lucu sekali, ketika membaca tulisan ini di beberapa salon. Bukankah arti facial sendiri sudah wajah. Lalu ketika disandingkan dengan punggung, menjadi wajah punggung. Aneh juga… Mungkin, kata facial di Indonesia identik dengan perawatan kulit. Jadi asal tempel aja dengan kata punggung. Alhasil jadilah kata facial punggung.

Masih adakah yang akan menambahkan daftar kata-kata aneh ini?

baca selengkapnya......