Senin, 23 Februari 2009

Musisi Kembar

Menjadi musisi bagi beberapa orang sepertinya mudah sekali. Asal punya kemampuan menyanyi yang oke, penampilan yang menarik, beberapa bakat tambahan lainnya, ditambah (kadangkala) punya modal yang besar di segi financial – produksi berapa ratus ribu keping CD pun enggak masalah mungkin, yang penting lagunya diterima pasar dengan baik dan laku. Berbekal itu semua, rasanya semua menjadi mudah.

Saking banyaknya musisi di tanah air ini, saya sampai bingung dan lupa dengan setiap penyanyi dan lagunya. Apalagi saya bukanlah seorang pengamat musik, melainkan hanya seorang penikmat musik. Tanpa harus memperhatikan siapa yang nyanyi, yang penting lagunya bagus, liriknya apik, lalu saya suka. That’s all.

Di kantor, ada seorang teman yang benar-benar ter-update playlist lagunya. Bahkan lagu yang belum ada video klipnya di TV pun dia punya. Jadi, ketika dia memutar lagu di komputernya, saya hanya mendengarkan tanpa memperhatikan siapa yang nyanyi. Saya hanya menebak, “Oo.. ini suaranya si A. Wah, dia sudah bikin album baru yaa..”.

Kira-kira dua bulan saya mengira bahwa lagu itu dinyanyikan oleh si A. Tapi ketika saya melihat video klipnya di TV, barulah saya tahu bahwa penyanyinya bukan si A. Contohnya saja; Ello – Masih Ada Cinta, saya mengira yang nyanyi Glenn Fredly, Maia dan Cinta Laura - Pengkhianat Cinta, saya mengira yang nyanyi Mulan Jameela, Nindy – Cinta Cuma Satu, saya mengira yang nyanyi Audy, dan Kotak – Masih Cinta, saya mengira yang nyanyi Utopia.

Wah, ini kesalahan ada pada kuping saya atau memang pada penyanyi yang tidak punya ciri khas lagi yaa… Saya masih ingat, ketika di acara adu bakat penyanyi, sang komentator selalu berkata “Kamu harus punya ciri khas sendiri. Jadi ketika saya dengar suaramu di radio, saya langsung tahu itu kamu.” Kata-kata itu terus saya ingat sampai sekarang, meskipun saya bukan seorang penyanyi. Sehingga, saya selalu salut dengan penyanyi yang benar-benar punya ciri khas.

Di luar itu semua, bolehlah… Karena lagunya memang lumayan bagus dan enak untuk didengar. Tapi, melihat maraknya industri musik saat ini, seharusnya menjadikan semua pihak yang terjun di industri musik lebih memperhatikan persaingan yang ada. Bukan asal punya modal kuat dari segi financial saja, tapi juga memperhatikan pasar, kemampuan entertain, ciri khas musik dan suara penyanyi, serta jangan sampai bikin satu album langsung bubar. Itu mah, numpang tenar sesaat aja.. dan musik dijadikan batu loncatan. Wah, kalau musisi senior tahu seperti ini, bisa saja mereka nangis miris.

Memang tidak ada yang baru di bawah matahari. Tapi paling tidak, dimodifikasilah sedikit supaya ada perbedaan dengan penyanyi lain yang mungkin menjadi kiblat itu tadi. Kekreatifan itu pastilah akan mendapat apresiasi lebih dari sesama musisi lain dan juga para penikmat musik – seperti saya..

baca selengkapnya......

Kamis, 19 Februari 2009

Nge-Slank bareng Garin Nugroho dan Generasi Biru

“Pasti kalo film ini muncul di jaman Soeharto, sudah dicekal” kata seorang teman ketika kami sedang menonton film karya Garin Nugroho – “Generasi Biru”. Film ini dimainkan oleh Slank, sebuah band yang usianya bahkan lebih tua daripada usia saya 25 thn.

Khas sekali film Garin. Menurut saya, dari scene satu ke scene lainnya susah dimengerti, karena kesannya enggak nyambung. Tapi, setelah hampir akhir2 film, barulah kita bisa berkata “Oo.. jadi maksudnya tuh gini too…”

Pantas juga ketika di brosurnya ditulis “Dari ‘Opera Jawa’ ke ‘Rock and Roll’”, karena film ini memang opera jawa (film Garin sebelumnya) banget tapi dikemas dengan nge-slank. Kalau di “Opera Jawa” dulu, jujur saja saya tidak begitu mengerti esensi penting dari film itu. Mungkin saja karena ketika itu, otak saya belum dipaksa berpikir kritis dan dewasa. Tapi melihat animo masyarakat, sepertinya justru film “Opera jawa” yang heboh sekali penontonnya. Sampai-sampai pemutarannya di Jogja diperpanjang. Bagaimana nasib film “Generasi Biru” ini yaa… Ah, terlalu dini untuk mereview.

Film “Generasi Biru” ini beda dan lebih meremaja. Ada gokilnya, ada nyleneh ke arah ‘saru’nya (tapi emang ini kan yang digemari anak2 sekarang), ada sisi kemanusiaannya, dan ada kritik sosialnya. Jadi, itulah kenapa teman saya tiba2 menyeletuk demikian.

Sekarang kita memang hidup di generasi biru, yang merdeka dan bebas berekspresi serta berpendapat. Tapi seharusnya kebebasan itu digunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan asal manut dengan yang ketok palu, tapi juga bukan asal semprot tanpa pemikiran yang matang.

Film ini mengingatkan kita bahwa negara ini pernah mengalami tragedi kemanusiaan besar-besaran, bahkan kalau mau ditelusuri di setiap provinsi mungkin saja masih ada. Mulai dari kerusuhan Mei 1998, Konflik Ambon, krisis gizi, krisis pangan dan air, dll.

Menurut saya, disinilah hebatnya Slank dan Garin Nugroho. Ketika genenasi biru sesungguhnya ada di tangan remaja, padahal remaja adalah saat rentan dengan berbagai godaan. Lalu, film ini muncul dengan maksud mengajak mereka supaya lebih peduli dengan negaranya. Serta benar-benar menanamkan P.L.U.R – Peace.Love.Unity.Respect dalam diri setiap generasi biru – generasi bangsa.

Yah, sekarang kita memang tidak hidup lagi di jaman kuping kita ditutup, ruang gerak kita dibatasi dengan kerangkeng, atau manusia yang tidak dimanusiakan. Meski, sekarang ini masih banyak kejadian yang seperti masa-masa itu. Tapi, mungkin patutlah kita bersyukur karena negara kita sudah banyak berubah, yang perubahan itu dilakukan oleh para generasi biru dan untuk generasi biru.

Coba saja deh, tengok negara tetangga di Korea Utara dengan paham komunisnya. Sampai sekarang ini mereka begitu mengidolakan “the great jenderal”nya yang sudah meninggal. Bahkan fotonya pun disembah-sembah dan tak boleh geser sedikit pun dari gantungan. Mereka diajarkan anti-Amerika, padahal pemimpin barunya sekarang diduga diam2 mengonsumsi produk Amerika. Dan lucunya, lirik lagu kebangsaannya ada kata2 pujaan kepada “the great jenderal”.

Wah, untunglah negara kita telah melewati masa-masa itu. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dipelajari. Dan… coba kalau film ini dibuat oleh warga Korea Utara ya? Mungkin nasibnya seperti surat kabar Indonesia jaman dulu.

baca selengkapnya......