Minggu, 22 November 2009

Mencari yang Tak Terlihat dari Kasus Bu Ruminah


Perkara pencurian 3 buah Kakao oleh Bu Ruminah di Perkebunan PT Rumpun Sari Antan (RSA) mengingatkan saya pada peristiwa 11 tahun yang lalu. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 SMP, jadi mengerti hukum pun tidak. Tapi saya mengikuti proses hukum, termasuk proses peradilan. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan.


Siang itu, seperti biasa saya main ke rumah sahabat saya - Kike, di Perum Candi Gebang. Karena saya baru saja pindah ke Perum Candi Indah, perjalanan ke rumahnya yang biasa hanya dengan jalan kaki, saya lakoni dengan bersepeda. Sampai di rumahnya, saya taruh sepeda saya di depan rumahnya tanpa dikunci. Ketika saya dan Kike sibuk bermain di kamarnya, mamanya datang dan menghampiri saya, "Non, sepedamu hilang'e.." Heh??? Sepeda kesayangan saya hilang??? "Masa to Bu?" tanya saya ke Bu Atmadi, karna saya pikir beliau becanda. Lalu jawabnya, "Iya, itu malingnya lagi dikejar Pak Atmadi."

Huaaahhh.. Saat itu yang ada di pikiran polos kepala saya adalah "Aduuhh... saya pasti nanti dimarahi orang tua." Lalu dengan deg-degan, saya menelpon rumah dan yang mengangkat mama. Saya bilang bahwa sepeda saya dicuri, tolong saya dijemput. Sesampainya mama ke rumah Pak Atmadi itu, mama dan Bu Atmadi ngobrol pake bahasa jawa yang saya juga tidak begitu dong itu ngomongin apa. Pikiran saya masih takut dan kalut, "Besok saya sekolah naik apa? Sepeda aja enggak punya.."

Singkat cerita, maling sepeda itu akhirnya ketangkap hari itu juga. Tidak jauh di dekat rumah Pak Atmadi, satu orang maling dikeroyok rame-rame oleh penduduk setempat. Tapi, yang satunya lagi kabur membawa lari sepeda saya. Akhirnya, masalah pencurian sepeda itu sampai juga ke pihak berwajib. Alias diselesaikan di meja hijau.

Prosesnya lama, kalau tidak salah saya sempat menunggu 3-4 bulan sampai pada akhirnya proses persidangan itu berjalan. Saya yang masih sangat polos, tidak tahu menahu tentang proses ini. Orang tua saya harus tanda tangan banyak berkas dan didatangi Polisi pun saya masih juga belum ngeh. Karena saya masih 13 tahun, jadi tidak ada proses sumpah dalam persidangan. Saya duduk di depan & di tengah2 (persis layaknya persidangan biasanya). Dua orang tersangka duduk di sebelah kanan didampingi pengacaranya. Lalu Pak Atmadi sebagai empunya rumah di mana TKP berlangsung, menjadi saksinya.

Sidang tersebut diakhiri dengan kata2 Pak Hakim yang bilang, "Lain kali Noni kalo naruh sepeda di tempat aman yaa.. Dikunci juga". "Sepedanya bener itu bukan?" tanya beliau di tengah persidangan. Sebelum saya menjawab, beliau menyuruh saya untuk mendekati sepeda itu dan mengeceknya. Lalu setelah saya mengecek, dengan polosnya saya bilang "Iya Pak bener.. Tapi stikernya hilang semua ya.." Grrrr... semua penonton sidang ketawa semua.

Nah, kembali ke masalah Bu Ruminah dengan PT RSA. Semua media beramai-ramai memberikan dukungan dan simpati padanya. Semua mengecam tindakan PT RSA yang membawa masalah ini sampai ke pengadilan. "Hanya karena 3 buah Kakao!?!" Bagaimana bisa setega itu???

Lalu, ketika berita TVOne masih menyiarkan itu. Mama saya tiba2 bercerita seperti ini, "Masih inget kasus sepedamu yang hilang itu? Orang tua si pencuri sepeda itu dateng ke rumah ini lho.." Hah?? Ini saya baru tahu setelah 11 tahun peristiwa itu terlewat. "Orang tua itu minta maaf atas kelakuan anaknya & minta supaya proses tidak dilanjutkan, diselesaikan secara kekeluargaan saja." Lalu apa yang dilakukan orang tua saya? Beliau menelpon dan mendiskusikannya dengan Pak Atmadi. Dan karena di Perum Candi Gebang saat itu sering terjadi pencurian, baik sepeda, motor, dsb. Serta desakan dari warga setempat, untuk meneruskan ke pengadilan supaya memberi efek jera pada pelaku yang lain. Akhirnya proses hukum tetap dilanjutkan.

Cerita mama ini, membuat saya (yang sekarang sudah lebih pintar daripada 11 tahun yang lalu, hehe) berpikir berbeda dan lebih dalam lagi. Apa sih yang ada di pikiran PT RSA hingga mengangkat masalah ini ke pengadilan? Ada banyak faktor tentunya, tapi sayangnya media terlalu subjektif dan memihak dalam memberitakan ini. Kita tidak tahu kan, seberapa banyak peristiwa pencurian ini terjadi? Kita tidak tahu kan seberapa besar tekanan dari pihak petinggi2 PT RSA yang memarahi mandor2nya karena tidak becus menjaga kebun sehingga bisa kecolongan banyak sekali? Kita tidak tahu kan seberapa banyak petani setempat yg bandel dan terus saja mencuri meski sudah dimaafkan? Kita tidak tahu kan seberapa jujur Bu Ruminah ketika diwawancarai wartawan? (Karena orang desa depan rumah saya sering mencuri & menebang pohon2 di perumahan. Hikss.. jadi turun kepercayaan saya pada orang desa. Maaf yaa..)

Nah... sama seperti keputusan orang tua saya untuk melanjutkan proses hukum, ketika desakan dari warga Perum Candi Gebang yang gerah dengan kasus pencurian ini. Padahal kalau dipikir, hanya sebuah sepeda yang dicurinya. Bukan motor, bukan mobil. Tapi, dilematis orang tua saya serta ditambah rasa enggak enak kepada keluarga korban, akhirnya proses hukum tetap dijalankan.

Bukannya saya tidak mendukung Bu Ruminah siihh... Tapi masalah ini terjadi ketika negara kita sedang mengalami peristiwa yang menguncang hukum. Jadi, makin hebohlah pemberitaannya. Dan, kalau tentang kemanusiaan, saya sih tetap menyayangkan tindakan PT RSA yang menuntut Bu Ruminah - wanita tua usia 55 tahun. Kenapa bukan petani muda lainnya? Kalau toh, sama2 untuk memberi efek jera kan...

Jadi... klimaks dari tulisan saya ini. Yuk mari semua pemberitaan di media akhir2 ini, kita cermati dan kita kritisi. Jangan semua ditelan mentah2. Media sekarang tidak ada yang objektif. Kalau dalam bahasa jurnalisme, tidak ada yg bisa memberitakan secara cover both side. Dan parahnya, itu bisa membuat penduduk Indonesia sok-sokan dalam mencerna berita. Lalu asal demo ke jalan, atau demo lewat group di facebook tanpa tahu esensi masalahnya. Sekali lagi, mari semua berita heboh & menarik di media akhir2 ini kita pandang dari sisi lain, sisi yang tidak terangkat, sisi yang tidak terlihat, supaya kita bisa lihat dengan kacamata yg utuh. Karena filter semua berita itu bukan di medianya, tapi di penontonnya - yaitu kita.
baca selengkapnya......

Jenjang Pendidikan itu Juga Penting


Apa bedanya lulusan D1, D3, dengan S1 atau S2? Kalau toh ketika masuk ke dunia kerja, kadang gelar itu tidak digunakan. Ada orang yang cuma lulusan D1 atau D3 tapi lagi hoki sehingga mendapatkan pekerjaan dengan load dan gaji yang lebih tinggi dibandingkan lulusan S1 atau S2. Jadi, buat apa mengejar title setinggi-tingginya, kalau toh hoki kita ini tidak ada yang tahu.


Tapi, jangan salah... Saya baru saja mendapatkan perbedaannya 3 hari yang lalu. Bahwa sebenarnya kematangan pribadi dan kedewasaan dalam sebuah problem solving itulah yang dimiliki oleh lulusan S1. Ketika sudah masuk dalam dunia kerja, hal ini yang akan teruji. Seberapa besar orang tersebut mampu dengan dewasa dan tanpa emosi menyelesaikan masalah. Seberapa besar jiwa orang tersebut mau mengakui kesalahannya dan bukannya ngotot membela dirinya pasti benar. Serta seberapa besar orang tersebut mampu menyelesaikan masalah dengan waktu yang efektif dengan keputusan yang benar, serta berani ambil risiko.

Mengapa? Karena mahasiswa S1 terlatih untuk mengerjakan tugas dalam kelompok, di mana di situ terdapat perbedaan pendapat, sehingga mereka diharuskan bisa mengelola dan menyatukan perbedaan tersebut. Lalu nanti kelompok tersebut diwajibkan mempresentasikan tugasnya di depan kelompok yang lain. Ketika presentasi mereka akan dihujani pertanyaan, didebat, disalahkan, dikritik, dan sebagainya. Sehingga mereka harus bisa dengan tanpa emosi menjawab setiap pertanyaan dan kritikan. Itulah yang membuat mahasiswa S1 tetap lebih unggul. Saya menamakannya EQ mahasiswa S1 lebi teruji.

Boleh saja hoki berkata lain. Sehingga mahasiswa lulusan D3 bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih menjanjikan masa depannya dibanding lulusan S1. Tetapi ketika masuk ke dalam dunia kerja, semua hal yang sudah saya sebutkan tadi pasti akan terlihat. Memang sih.. ada juga orang lulusan D3 yang memiliki jiwa kepemimpinan dan jiwa besar yang tinggi dibandingkan orang lulusan S1. Tetapi, semua itu ditempa oleh waktu selama ia bekerja. Tetapi, jika selama waktu bekerja itu tidak dipergunakan dengan baik untuk belajar, ya sama saja. Para lulusan D3 yang sudah naik pangkat, akan disalip oleh yunior-yuniornya yang lulusan S1.

Jangan sebal atau sungkan ketika Anda dipimpin oleh orang lulusan D3, karena apa yang sudah Anda pelajari selama kuliah seharusnya dipraktikkan. Seharusnya kita berani menunjukkan bahwa dengan kepintaran kita, kita memiliki nilai EQ yang lebih tinggi.

Tapi, semua itu tentu saja terbukti jika mahasiswa S1 benar-benar melaksanakan proses kuliahnya selama kurang lebih 4 tahun tersebut dengan baik. Jadi, saran saya untuk mahasiswa S1, gunakan setiap tugas-tugas yang diberikan dosen itu sebagai proses pembelajaran yang akan membekali kalian untuk lebih siap memasuki dunia kerja. Sedangkan untuk mahasiswa D3, gunakan kesempatan ketika sudah memasuki dunia kerja, untuk belajar tentang EQ yang dipelajari mahasiswa S1 ketika di kampus. Jadi, semua akan sama-sama bertanding karir secara fair.
baca selengkapnya......

Kamis, 12 November 2009

Indonesia, Bangsa Kreatif


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kreatif. Jangan salah, sekalipun kita masih sering menggunakan barang-barang buatan luar negeri alias impor, tetapi kita patut berbangga hati bahwa bangsa ini adalah bangsa yang kreatif.


Ketika menonton acara Kick Andy yang menayangkan tentang kreatifitas anak negeri yang disayembarakan dalam Eagle Award 2009, saya kagum bahwa ternyata bangsa ini mampu menciptakan karya yang mungkin tidak pernah kita pikir sebelumnya. Beberapa di antaranya Grabag TV – sebuah TV Komunitas di Desa Grabag, Magelang; Gorilla Fitness Center – sebuah tempat fitnes dengan peralatan seadanya, bahkan batu pun bisa dijadikan alat, Jember Carnivall – sebuah karnaval di kota Jember, Jawa Timur; Bank Sampah – sebuah bank yang menyimpan sampah di Desa Bagedan, Bantul, Yogyakarta; dsb. Benar kan... Itu semua membuat kita ini sadar bahwa bangsa ini punya potensi terselubung yang mungkin sebelumnya belum kita sadari.

Lalu, iseng-iseng saya mencoba menelusuri, dari mana asal muasal kekreatifan bangsa ini.

Bangsa ini baru berumur 64 tahun. Belum bisa dikatakan usia yang tua untuk sebuah negara. Itulah mengapa Bapak Presiden Soeharto – Bapak Pembangunan Indonesia, merestui masuknya industri asing demi pembangunan bangsa ini. Produk-produk asing tersebut rata-rata kan mahal. Tidak sesuai dengan kocek masyarakat Indonesia pada umumnya. Tetapi karna bangsa ini ingin memiliki produk seperti itu, maka menjadi kreatiflah mereka untuk meniru-niru. Membuat produk yang serupa tapi tak sama.

Kalau di luar negeri, barang-barang elektronik dan transportasi memiliki usia tersendiri. Kalau sudah kadaluwarsa, harus diganti. Sedangkan di Indonesia, barang elektronik dan transportasi makin tua malah makin unik dan terus dipertahankan, dengan alasan ‘tahan banting’. Lalu, terus diutak-atik supaya lebih menarik. Belum lagi, ban kendaraan yang bocor, ditambal berulang-ulang sampai ban penuh tambalan. Kalau di luar negeri, dibuang dan beli yang baru. Semua menunjukkan bahwa bangsa ini kreatif kan...

Tapi, sayangnya.. Kreativitas bangsa ini merembet ke arah kreatif dalam mencari dan mengumpulkan materi yang tidak halal. Korupsi salah satunya. Masyarakat Indonesia terlalu care dengan keluarganya. Mereka tidak ingin anak cucunya besok jatuh miskin. Jadi, kalau bisa mulai sekarang materi itu dikumpulkan hingga cukup 7 turunan. Akibatnya, yang dirugikan siapa? Bangsa ini sendiri yang duitnya dihabiskan hanya untuk mengurusi keluarga pejabat yang takut miskin tersebut.

Satu lagi potensi kreativitas Indonesia, yaitu kreatif berbohong dan berkelit. Bagaimana tidak, berita KPK vs Polri yang marak akhir-akhir ini menunjukkan kreativitas bangsa ini. Semua saling bersumpah, “Demi Allah!!!”. Lalu dengan intelegensinya yang “tingkat tinggi”, mereka berkelit, bermulut manis, sok-sok berdebat, dan akhirnya menciptakan Drama Reality Show di TV. Ck...ck..ck... Hebat sekali !!!

Lalu, dari semua potensi kreativitas bangsa ini, mana yang paling bagus dan layak untuk kita tiru? Silakan pilih sendiri.
baca selengkapnya......

Rabu, 04 November 2009

Wanita Penjual Roti Sus



Semalam, saya dan pacar makan malam di sebuah warung makan (berlabel chinese food) di Jalan Moses Gatutkaca, Mrican, Yogyakarta. Ramai sekali malam itu. Ya.. seperti malam-malam biasanya. Di mana pengunjung harus makan sambil berdesak-desakan dan buru-buru bergantian dengan pengunjung lain yang mau makan. Tidak ada pengamen di situ, yang ada juru masaknya beraksi memasak dengan api besar.


Sama sekali tidak ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kami duduk di meja yang sama, di tengah, saling berhadapan, dengan menu hot plate udang rica, dan dua gelas es teh. Tapi, satu hal yang berbeda adalah kehadiran seorang ibu paruh baya, rambutnya dipenuhi uban, dengan jariknya menggendong sekeranjang roti sus di depan. Selangkah demi selangkah, perlahan berjalan, dia menghampiri tiap meja dan menawari kami – para pengunjung warung makan, untuk mau membeli roti susnya yang satu plastik berisi tiga buah roti sus kecil.

Akhirnya dia berhenti di meja kami. Pacar saya bertanya, “Pinten Bu?” (Berapa Bu?). Lalu jawabnya, “Gangsal ewu Mas.” (Lima ribu Mas) Pacar saya mencari selembar uang lima ribu di dompetnya dan memberikan padanya. “Matur nuwun Mas..” (Terima kasih Mas) jawabnya. Lalu dengan senyumnya lagi, ibu itu kembali menawari saya untuk mau membeli rotinya. Jawab saya, “Sampun Bu, niki setunggal mawon.” (Sudah Bu, satu saja cukup)

Ibu yang berbaju kuning itu lalu pergi dan kembali menawari pengunjung lain dari meja satu ke meja lainnya. Tapi, tak ada satu pun orang yang membeli roti susnya. Kepergiannya dari meja kami sempat membuat kami diam sesaat, memperhatikannya, dan pembicaraan kami tentang sidang MK yang sedang hot itu menjadi idle sejenak. Saya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pacar saya, ya.. karna saya bukan paranormal. Tapi, sikapnya untuk membeli roti sus seharga lima ribu rupiah itu yang saya suka. Saya lalu berkata padanya, “Ini buat sarapanmu besok pagi ya..”

Setelah kami selesai makan, membayar, dan hendak meninggalkan warung makan itu. Kami kembali berpapasan dengan ibu itu. Dia hendak masuk lagi ke warung makan itu. Lalu dengan senyum khasnya, dia menyapa kami, dan (lagi-lagi) menawari saya untuk membeli roti susnya. Jawab saya, “Sampun Bu, lha niki rotine dereng telas.” (Sudah Bu, ini rotinya belum habis)

Satu kata ingin saya ucapkan padanya: Hebat. Ya, dia benar-benar wanita yang hebat dan pantang menyerah, keluar-masuk warung makan dan ruko-ruko di sekitarnya untuk menjajakan roti susnya. Di malam hari, di mana mama saya sedang tiduran sambil nonton TV, atau mungkin ibu pacar saya sedang ngobrol santai dengan bapak, dia justru berkeliling menjajakan roti susnya. Keadaan yang membuatnya demikian. Tapi, senyum tulusnya itu yang membuat saya terhenyak dan berpikir, “Kapan yaa.. terakhir kali saya melihat orang tersenyum dengan sedemikian tulusnya?”, “Kapan yaa... terakhir kali saya tersenyum dengan tulus dan tanpa beban kepada orang lain?”

Dari senyum wanita itu, saya berusaha menebak, bahwa dia mensyukuri apa yang telah didapatnya. Berapa ribu pun yang didapatnya, “Maturnuwun... Allhamdulilah...” demikian pasti ucapnya. Tidak perlu dipenuhi dengan pikiran ribet, “Kok cuma segini ya dapetnya? Trus besok gue makan apa? Kok cuma segini gaji gue? Gak worth it dengan jerih payah gue selama ini bekerja di kantor ini deh..” Dan masih banyak pikiran ribet kita lainnya.

Mari kita sejenak menyimpelkan (membuat simpel) pikiran kita yang sudah sedemikian high tech nya. Bahwa apa yang sudah kita peroleh sampai detik ini, hendaknya selalu disyukuri. “Maturnuwun... Allhamdulilah...” seperti yang diucapkan wanita itu. Tidak usah terlalu pusing besok makan apa? Target beli ini-itu tercapai atau tidak? Burung pipit yang kecil aja dipelihara Tuhan, masa kita yang besar ini tidak?

Tuhan memberi kita kebijaksanaan untuk berusaha dan berupaya. Tapi bukan untuk serakah, menguasai, atau menyombongkan diri.
baca selengkapnya......