Pada tahun 1998, jumlah pengguna internet di Indonesia hanya 1,5 juta orang. Tapi saat ini, pengguna internet telah melesat tinggi, hingga mencapai angka 45 juta orang, jauh melebihi jumlah penduduk miskin di Indonesia.
Saat ini, informasi memang milik siapa saja, tanpa mengenal tingkat pendidikan, jenjang karir, suku, agama, atau bahkan gender. Ya, informasi dan kebebasan mengaksesnya adalah juga kaum wanita. Sama sekali berbeda jauh dengan dulu, yang hanya dikuasai dan didominasi oleh pria.
Mari coba tengok tas wanita. Selain ditemukan dompet cantik dan aneka kosmetik, pasti akan ditemukan smartphone atau paling tidak handphone dengan kemampuan internet yang canggih. Coba juga cari beberapa toko online di Indonesia, rata-rata pengelolanya pun juga wanita. Lalu, banyak juga tulisan para wanita yang digores dan dipublikasikan melalui media blog, ternyata mampu menginspirasi banyak orang di dunia.
Cukuplah untuk membuat kesimpulan bahwa saat ini bukanlah era wanita yang gaptek (gagap teknologi), melainkan high-tech. Saat ini, teknologi telah dikemas dengan sangat simpel, praktis, dan handy untuk dibawa ke mana-mana. Teknologi tidak hanya didominasi oleh para pria di ruang kerjanya, melainkan juga oleh wanita dimana pun berada, sekalipun itu di rumah dan di dapurnya.
Dengan internet, surga dunia seakan berada dalam telapak tangan wanita. Di mana pun, kapan pun, informasi dengan mudah didapat, dan transaksi dengan cepat diselesaikan. Wanita jadi bisa bersinar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, berkat bantuan internet. Jika dulu wanita yang mengetahui atau mendapat informasi melebihi pria, maka wanita itu akan dicibir dan dianggap tidak mengerti kodratnya untuk diam di rumah mengurus anak dan suami saja. Tapi saat ini, teknologi internet membukakan jendela mata siapa saja, termasuk wanita.
Wanita yang memilih untuk di rumah, ternyata tetap bisa berkarya dan bekerja berkat teknologi internet. Wanita bisa bekerja di sela-sela aktivitasnya di rumah, seperti berjualan aneka produk via internet, mengembangkan jaringan bisnis kecilnya melalui internet, atau menjalin komunikasi dengan beberapa orang dalam rangka pengembangan bisnis kecilnya, yang semata-mata untuk kepentingan keluarga.
Wanita yang dulu diharuskan diam dan nurut apa kata suami, sekarang bebas menuturkan pandangannya terhadap dunia melalui internet. Wanita bebas menulis pendapatnya dan mengunggahnya melalui blog atau jejaring sosial. Wanita pun bisa menginspirasi orang-orang, berkat tulisan-tulisannya serta karyanya yang membangkitkan semangat.
Ya, kehadiran internet ternyata semakin menyempurnakan emansipasi wanita yang sudah lama digaungkan. Kalau dulu, tuntutan wanita adalah mendapat pendidikan yang sama dengan pria. Sekarang, wanita pun sudah mendapatkan akses informasi yang sama dengan pria juga. Serta kebebasan mengungkapkan pendapat yang dulu hanya didominasi pria.
Kehadiran internet memang mempermudah wanita untuk tetap berkarya di tengah-tengah kesibukannya, baik bekerja, ataupun mengurus rumah, anak, dan suami. Otak wanita memang hebat, karena memiliki banyak partisi sehingga bisa memikirkan dan mengerjakan beberapa hal dalam waktu yang bersamaan. Dan semuanya itu, dipermudah berkat bantuan teknologi internet.
sumber foto: http://a-proper-blog.blogspot.com/2010/12/escapism-short-story.html
baca selengkapnya......
Minggu, 03 April 2011
Senin, 21 Februari 2011
Positive Social Networking
Gabung di social networking itu sama seperti kalian ikutan ajang pencarian bakat. Kalau di social networking, setiap kalian pasang status, kalian harus siap untuk dikomentari teman-teman kalian, baik itu negatif ataupun positif. Sedangkan kalau di ajang pencarian bakat, setiap kalian menunjukkan bakat kalian, kalian pun harus siap juga untuk dikomentari juri-juri, baik itu negatif ataupun positif. Kalau kalian belum siap untuk dikomentari, lebih baik putuskan saja tidak usah bergabung di social networking ataupun ajang pencarian bakat. Lebih baik, tulis semua uneg-uneg di buku harian dan kunci rapat-rapat. Atau nyanyi teriak-teriak saja di kamar mandi, tanpa didengar oleh produser musik.
Jumlah pengguna internet di Indonesia ini sudah melebih jumlah rakyat miskin di negara ini. Dan coba saja dihitung, pasti rata-rata mereka bergabung di social nerworking. Bisa saja Facebook, Youtube, Foursquare, dan yang lagi marak… Twitter. Bagi kita, termasuk saya.. mungkin social networking ini sangat membantu, mengusir sepi dan kebosanan, mencari teman lama, promosi, pekerjaan, dan buku harian.
Ya, saya katakan buku harian. Buku harian yang kedekatannya melebihi kita dengan orangtua, apalagi dengan Tuhan. Bagaimana tidak, kalau setiap aktivitas kita dilaporkan via social networking tersebut. Setiap emosi kita, senang atau sedih, jengkel atau marah, selalu diungkapkan di situ. Padahal kalau di rumah, kita selalu menutup hati dan mulut untuk bercerita pada makhluk hidup yang lebih dekat, dengan dalih, “mereka tidak bisa mendengarkan saya, karena selalu membantah.” Padahal kenyataannya, dengan Tuhan yang tidak mungkin akan membantah pun, kita tidak pernah update status ke Dia. Dalam seminggu, puluhan status terunggah, sedangkan curhatan batin kita melalui doa pada Tuhan, tersangkut di tenggorokan.
Saya menulis ini, bukan karena saya anti social networking. Sesungguhnya, saya ini juga social networking addict. Tetapi, semakin bertambahnya tahun & menjamurnya social networking, saya melihat “penyimpangan” yang bikin saya gemes. Rasanya, cenat cenut tiap baca timeline di social networking saya.
Jujur saja, akhir-akhir ini saya sebal dengan timeline yang dikotori oleh status dan kicauan yang kotor. Makian, marah, keluhan, kalimat-kalimat yang hiperbola alias lebay, kalimat dengan tanda seru banyak yang saya intepretasikan marah-marah, uneg-uneg yang lama-lama bikin eneg, dan sebagainya.
Okey, mungkin bagi sebagian dari kita ada yang merasa bahwa, “Ini akun gue, suka-suka gue dong mau ngapa-ngapain. ”
Dalam hati saya, “Kalo begitu, suka-suka gue juga dong.. Mau nge-block atau unfollow akun lu. Asalkan syaratnya pertemanan kita tetap berlanjut di dunia nyata.”
Yaa.. Saya hanya berusaha mengajak teman-teman untuk menjadi orang yang positif, di mana pun kita berada. Baik di kantor, di kampus, dan juga di social networking. Ingat, akun kita ini merupakan cermin pribadi kita.. Dan bisa jadi headhunter ada di mana-mana dan sedang mengincar pribadi-pribadi yang positif untuk kesempatan emas lebih bisa maju lagi dalam kehidupan. Jadi, lebih baik berhati-hatilah dalam memasang status dan kicauan.
Saya tidak melarang mereka untuk mengeluh, marah-marah, ataupun makian. Tapi… ketika itu diungkapkan berkali-kali, setiap hari, setiap detik, setiap waktu. Sungguh, saya semakin kasihan pada mereka. Di situ marah, di sini marah, begini marah, begitu marah. Itu artinya bukan orang lain atau situasi yang salah, tetapi pribadi mereka yang bermasalah.
Dan yang terakhir adalah, social networking ini sifatnya tertulis. Mudah sekali terjadi kesalahpahaman. Salah-salah, bisa jadi kehilangan teman. Jadi, lebih baik berhati-hatilah dalam menulis status atau memasang komentar. Masih mending kalau pertengkaran yang terjadi, nah.. kalau dipecat dari pekerjaan, dikeluarkan dari sekolah, dihujat orang-orang setanah air? Sudah banyak contoh terjadi, bukan? Semoga tidak pernah terjadi pada saya ataupun kalian ya..
Jadi, mari kita berjejaring sosial dengan positif yang membangun dan menghibur, dan bukan yang justru membuat dahi cenat-cenut karena uneg-uneg yang lama-lama bikin eneg.
baca selengkapnya......
Kamis, 13 Januari 2011
Siapkah Musik Indonesia di-Sm*sh?
“You know me so well… I know you so well.. Girl I need you, girl I want you..”
Yuk, ngacung siapa yang belum pernah denger lagu itu? Hhmm.. jujur saja saya baru denger lagu itu juga 10 jam yang lalu, ketika teman saya bilang, “cari di You Tube dong..” Hihihihi.. tiba-tiba saja saya jadi merasa udik dan baru mengenal You Tube.
Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk browse video clip lagu ini, mulai dari parodinya sampai penyanyi aslinya. Kalau saya, yang dicari pertama tentu penyanyi aslinya dong… Penasaran, sebagaimana bikin cenat-cenut sih penampilannya.
Saya penyuka drama Korea, Taiwan, dan Jepang. Meski tidak mengikuti secara detil setiap film-film mereka dikarenakan kesibukan yang menyita waktu (halah!), tapi saya lebih suka drama mereka daripada sinetron Indonesia yang justru bikin stres. Kesukaan saya pada karya mereka tentu membuat pengetahuan saya tentang tren di sana juga bertambah. Saya mengenal tokoh-tokoh BBF – Boys Before Flower, yang 2 tahun yang lalu sangat digandrungi anak remaja. Saya mengenal keimutan aktris drama, Kim Bum yang juga digandrungi bahkan oleh teman saya sendiri ini. Dan saya juga mengenal boy band terkenal dari Korea bernama Super Junior. Ini dia mereka:
So, apa hubungannya semua ini dengan boyband yang saya maksud tadi?
Menurut saya, boyband yang menyanyikan “you know me so well” dengan judul lagu aslinya adalah “heart you” itu, mengadopsi tren Korea, Taiwan, dan Jepang. Khususnya mengadopsi boyband ternama dari Korea, yaitu Super Junior. Bedanya, gaji Super Junior pasti lebih sedikit karena personilnya ada 12! Sepertinya itu boyband dengan personil terbanyak yang saya tahu.
Adakah yang salah dengan boyband negara kita ini yang mengikuti gaya negara lain? Tidak ada sama sekali, menurut saya.
Di bawah matahari tidak ada sesuatu yang orisinil. Begitu pula dengan musik. Sekeren-kerennya Lady Gaga, musik & penampilannya pasti terinspirasi dari orang lain. Sejago-jagonya Michael Jackson nge-dance, gayanya juga merupakan perpaduan dari tokoh-tokoh yang menginspirasinya. Toh nyatanya, penampilan mereka diterima dengan sangat baik di dunia.
Dalam penganugerahan award musik terhadap musisi tanah air, kalimat yang sering disebut adalah, “artis A telah mewarnai blantika musik Indonesia.” Apa artinya mewarnai? Mewarnai bukan semata-mata sukses & meraup penjualan keping CD terbanyak. Mewarnai adalah memberikan warna yang berbeda-beda. Bisa merah, biru, kuning, hijau, dan sebagainya.
Begitu pula dengan boyband ini. Mereka pun ingin mewarnai blantika musik Indonesia dengan genre lagunya sendiri. Kalau diterima oleh masyarakat, syukur alhamdullilah, lanjut ke album kedua. Kalau tidak diterima, ya sudah. Mungkin pendengar musik Indonesia lebih suka lagu-lagu melayu dibanding lagu nge-beat & penuh dance.
Saya menebak, begitulah jalan pikir produser mereka. Membuat sebuah tren musik baru di Indonesia, yang sudah terlalu banyak diwarnai lagu-lagu metal (melayu total). Syukur-syukur diterima, kalau tidak ya sudah… Mungkin segmen penikmat musik Indonesia sekarang memang anti boyband.
Namun, tidak bijak kalau boyband ini dicaci dan dihina sebagai perusak budaya bangsa. Video klip mereka baik-baik saja. Enggak bikin cenat-cenut, enggak ada adegan syur, enggak ada kata-kata kasar (seperti baj*ngan), enggak ada kata-kata yang berbau SARA dan menjelek-jelekan pihak lain. So far, baik-baik saja. Justru lagu yang penuh beat ini bagus untuk memicu semangat anak muda Indonesia yang terlalu sering dicekoki lagu-lagu mellow abis.
Indonesia adalah negara yang belum siap akan perubahan. Perubahan apapun dari berbagai segi kehidupan. Perubahan harga bahan pokok, bukannya diantisipasi dengan mencari ide untuk meningkatkan penghasilan, tetapi malah dikeluhkan. Perubahan harga bahan bakar minyak, bukannya diantisipasi dengan menghemat energi, malah didemo yang menghabiskan energi & tenaga.
Ya, sama dengan perubahan dengan kedatangan boyband baru ini. Bukannya diapresiasi dengan baik justru dimaki-maki, “norak”, “alay”, “banci”, dan sebagainya.
Yuk, mari diingat-ingat ketika negara ini kedatangan band baru dengan aliran melayu total. Diterimakah mereka? Tidak.. Sony Music sebagai produser mereka dicela karena mau mengorbitkan mereka. Ketika mereka manggung, bukan teriakan kagum yang diucapkan, tetapi sumpah serapah & sampah yang dilempar. Bahkan mirisnya, band senior lain malah bikin lagu yang menjelek-jelekkan mereka. Dan alasan mereka yang “rese” ini adalah karena band itu merusak warna musik Indonesia. Padahal menurut saya, mereka takut kesaingi.
Now, let see… 80% band di Indonesia alirannya melayu total, mengikuti genre musik yang pertama kali dibawakan oleh band melayu tersebut. Itu artinya, mereka sukses, mereka berhasil menjadi trendsetter terhadap selera musik Indonesia.
Nah, tren itu berputar. Sekarang produser musik ingin membawa tren musik ke arah boyband. Salahkan? Tidak sama sekali. Bisa jadi, mereka akan mengikuti jejak band metal tersebut yang berhasil membawa tren musik metal di tanah air.
Kalau kita tidak mau terbawa tren tersebut, just don’t listen their performance in everywhere, and don’t mocked at them. Bayangkan kalau itu band kalian. Bayangkan kalau itu keluarga kalian yang punya talenta di music & dance, serta sedang mati-matian meniti karir di industri entertainment.
Saya bukan penggemar boyband ini atau penggemar Super Junior. Saya hanya menikmati semua genre musik selama lagu itu berlirik bagus & easy listening. No matter what the singer.
If you don’t like them, just don’t see their performance, don’t listen their song, and keep silent. As simple as that.
Kamis, 25 November 2010
Guru Tanpa Tanda Jasa, Masih Adakah?
Tanggal 25 November 2010 kemarin adalah hari guru. Saya jadi berpikir, kenapa ada hari guru ya? Seberapa hebatnya mereka sehingga bisa sampai dijadikan hari istimewa? Kenyataannya guru zaman sekarang, menurut saya, tidak sehebat guru zaman dulu, yang benar-benar pantas diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Karena mereka dulu benar2 tidak diberi jasa yang "layak" atau bahkan tanpa jasa sama sekali.
Saya lantas melontarkan pendapat2 saya di twitter. Yang sebenarnya ingin "menyenggol" profesionalitas seorang guru. Meski hanya suara kecil, tapi bukankah saya juga warga negara indonesia yang punya hak untuk bersuara?
Tanpa disangka, twit saya itu ditanggapi oleh teman saya yang orangtuanya seorang guru. Kira-kira, begini bunyinya, “Kalau tanpa pamrih, gmn ortuku kasih makan ke kami anak2nya?”
Saya lantas melontarkan pendapat2 saya di twitter. Yang sebenarnya ingin "menyenggol" profesionalitas seorang guru. Meski hanya suara kecil, tapi bukankah saya juga warga negara indonesia yang punya hak untuk bersuara?
Tanpa disangka, twit saya itu ditanggapi oleh teman saya yang orangtuanya seorang guru. Kira-kira, begini bunyinya, “Kalau tanpa pamrih, gmn ortuku kasih makan ke kami anak2nya?”
Menarik! Ya, bekerja tanpa pamrih. Hari gini? Ada yang mau bekerja tanpa pamrih? Tanpa digaji? Zaman dulu bisa, karena kebutuhan dulu hanya masalah perut. Kalau sekarang? Pangan, papan, sandang, dan sebagainya. Bahkan handphone sekarang pun seakan-akan jadi kebutuhan primer.
Kembali ke mengapa ada hari guru? Mengapa tidak ada hari editor? *secara,profesi saya editor :p* Atau, mengapa tidak ada Hari Petani? Padahal mereka juga sangat berjasa mengisi perut-perut kita yg kelaparan.
Menurut analisis saya, itu karena guru dianggap hebat (pada zaman itu). Guru benar-benar bekerja keras mengeluarkan Indonesia dari belenggu penjajah dengan pendidikan. Bahkan banyak guru juga yang tidak digaji, salah satunya eyang kakung saya. Beliau menghidupi 9 anaknya, dengan warung yang dikelola eyang putri saya dan juga sawah yang menghasilkan. Tapi semangat guru-guru zaman dulu benar-benar hebat! Bersepeda ke sekolah. Kalau hujan, sampai di sekolah dengan kaki berlumpur. Belum lagi kelas yang terbatas sehingga membuat guru-guru itu harus mengajar sampai sore, karena harus berbagi dengan kelas-kelas lainnya, sedangkan gurunya cuma terbatas. Belum lagi, gajinya kecil. Parahnya, kadang enggak digaji.
Menurut saya, itu yang membuat guru diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa, dibuatin lagu, dan ada hari guru juga.
Nah, semakin majunya Indonesia dan protes yang dilakukan pihak sana-sini, membuat guru sekarang semakin diperhatikan kesejahteraannya. Gajinya dinaikkan berkali-kali lipat. Belum lagi kalo ada gaji ke 13 atau gaji ke 14. Wah… pakde saya yang guru itu jadi kaya raya dan bisa beli tanah bermeter-meter! In case, guru yg PNS lo ya.. Kl guru honorer atau swasta, beda lagi nanti pembahasannya.
Ibaratnya jadi begini. Yang susah nenek moyangnya yang guru, yang menikmati hasilnya cucu-cucunya yang guru. *semoga guru zaman dulu bs menikmati gaji pensiun yg memuaskan seperti gaji guru sekarang*
Kembali lagi ke bekerja tanpa pamrih, hari gini adakah yang mau? Di semua profesi manapun, yang sanggup bekerja tanpa pamrih, saya meragukan keberadaannya. Di tengah himpitan kebutuhan hidup, mau tidak mau kita membutuhkan uang. Mengutip kata teman saya, “money is not everything, but you need money to have anything”.
Benar memang. Ketika kita bekerja, kita memang sedikit banyak mulai belajar untuk “money oriented”. Tetapi, mbok ya jangan banget-banget. Kalo banget-banget, kita bakal tumbuh jadi bangsa yang matre, yang semua dihitung dengan tolok ukur uang. Padahal, tidak semua bisa dihitung dengan uang, tetapi dengan etika profesionalitas kerja.
Kebetulan pada hari yang sama itu juga, seorang dosen curhat ke saya begini, “Guru di sekolah itu ya.. kan niat saya bikin acara bedah bukunya jam 14.00 pas jam bubar sekolah, jd enggak ganggu proses belajar mengajar di sana. Ehh.. gurunya yang gak mau, karena mereka mau pulang, mereka enggak mau lembur. Ya ampun, apa sih susahnya lembur bentar sampe jam 17.00. Wong kita (dosen2 yg tugasnya jg sama2 mengajar) aja sering ngajar smp malem jam 8 e..”
Hhmm.. saya jadi mikir nih.. Apa ya pantas, sosok guru seperti yang diceritain dosen itu ke saya, pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa?
Sekali lagi, saya tidak mengeneralisir, karena saya tahu.. ada guru-guru lain yang bakal mau lembur sampai sore atau bahkan sampai malam demi kemajuan murid-murid dan juga sekolahnya. Hanya saja, guru di sekolah yang notabene bagus itu (karena masuk rangking 5 besar di kota saya), merupakan potret kecil ironisnya profesionalitas seorang guru yang dipertanyakan.
Apa alasan guru itu tidak mau lembur? Enggak ada gaji lemburan? Gaji lemburannya kecil? Aduhh.. kasian sekali guru-guru di Indonesia yang pemikirannya masih seperti itu. Karena itu artinya, semua dihitung dengan uang. Padahal, pada beberapa kasus, kita harus melakukan sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan uang.
Apa susahnya lembur sebentar, mendampingi murid-muridnya yang meraih pengetahuan baru melalui bedah buku? Toh tidak setiap hari, tidak setiap bulan, tidak setiap saat.
Saya tidak tahu persis perhitungan lemburan gaji guru, tapi lebih baik itu memang diperhitungkan sekecil apapun overtime fee-nya. Dan seharusnya juga, sekecil apapun itu, tidak membuat guru bekerja asal-asalan. Asal datang, asal ngajar, asal absen, asal pulang. Belum lagi guru yang kalau ngerjain tesis mbayar orang untuk ngerjain. Aduuhh… mau jadi apa bangsa ini nantinya.
Nah, kesimpulan saya di hari guru yang mulia ini adalah, apapun profesi kita, guru, dokter, dosen, pengacara, arsitek, sekretaris, bendahara, programmer, editor, petani, peternak, dan yang lainnya.. Sudah seharusnyalah kita bekerja dengan profesional. Profesional yang saya maksud adalah bekerja dengan optimal, tidak asal-asal, bekerja keras, taat peraturan. Boleh money oriented, tapi jangan matre.
Bekerja untuk mendapatkan uang, ya, itu memang benar. Tapi ketika bekerja semata-mata untuk uang, harus dihitung dengan uang semua, menurut saya, profesi yang diembannya (apapun itu) patut dipertanyakan kesungguhannya.
PS:
Sedikit OOT, kalo mau jadi guru, ada “sumpah” yg harus diucapkan enggak sih? Seperti sumpah aristoteles yang selalu diucapkan calon dokter itu… Sebaiknya diadakan akan lebih oke tuh. Karena guru dan dokter itu menurut saya profesi yang memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan bangsa ini. Oleh karena itu, profesionalitas kerjanya musti diperkuat dengan “sumpah” yang diucapkan sebelum ditabiskan jadi guru.
Nah, kan dokter itu profesi mulia ya.. (semua profesi mulia ding). Tp mksd saya, dokter dan guru itu profesi yang unik karena bisa mengubah panggilan seseorang. Org yang dokter, di masyarakat dipanggil Pak Dokter. Org yang guru, di masyarakat dipanggil Pak Guru. Ya mungkin enggak di setiap tempat.. Tp itu kan unik.. Coba deh, mana ada yang manggil saya Bu Editor. Hahahaha…
Kredit foto: http://bataknews.wordpress.com/2007/06/22/kasihan-anak-anak-transmigran-di-hutan-borbor-itu/
baca selengkapnya......
Kembali ke mengapa ada hari guru? Mengapa tidak ada hari editor? *secara,profesi saya editor :p* Atau, mengapa tidak ada Hari Petani? Padahal mereka juga sangat berjasa mengisi perut-perut kita yg kelaparan.
Menurut analisis saya, itu karena guru dianggap hebat (pada zaman itu). Guru benar-benar bekerja keras mengeluarkan Indonesia dari belenggu penjajah dengan pendidikan. Bahkan banyak guru juga yang tidak digaji, salah satunya eyang kakung saya. Beliau menghidupi 9 anaknya, dengan warung yang dikelola eyang putri saya dan juga sawah yang menghasilkan. Tapi semangat guru-guru zaman dulu benar-benar hebat! Bersepeda ke sekolah. Kalau hujan, sampai di sekolah dengan kaki berlumpur. Belum lagi kelas yang terbatas sehingga membuat guru-guru itu harus mengajar sampai sore, karena harus berbagi dengan kelas-kelas lainnya, sedangkan gurunya cuma terbatas. Belum lagi, gajinya kecil. Parahnya, kadang enggak digaji.
Menurut saya, itu yang membuat guru diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa, dibuatin lagu, dan ada hari guru juga.
Nah, semakin majunya Indonesia dan protes yang dilakukan pihak sana-sini, membuat guru sekarang semakin diperhatikan kesejahteraannya. Gajinya dinaikkan berkali-kali lipat. Belum lagi kalo ada gaji ke 13 atau gaji ke 14. Wah… pakde saya yang guru itu jadi kaya raya dan bisa beli tanah bermeter-meter! In case, guru yg PNS lo ya.. Kl guru honorer atau swasta, beda lagi nanti pembahasannya.
Ibaratnya jadi begini. Yang susah nenek moyangnya yang guru, yang menikmati hasilnya cucu-cucunya yang guru. *semoga guru zaman dulu bs menikmati gaji pensiun yg memuaskan seperti gaji guru sekarang*
Kembali lagi ke bekerja tanpa pamrih, hari gini adakah yang mau? Di semua profesi manapun, yang sanggup bekerja tanpa pamrih, saya meragukan keberadaannya. Di tengah himpitan kebutuhan hidup, mau tidak mau kita membutuhkan uang. Mengutip kata teman saya, “money is not everything, but you need money to have anything”.
Benar memang. Ketika kita bekerja, kita memang sedikit banyak mulai belajar untuk “money oriented”. Tetapi, mbok ya jangan banget-banget. Kalo banget-banget, kita bakal tumbuh jadi bangsa yang matre, yang semua dihitung dengan tolok ukur uang. Padahal, tidak semua bisa dihitung dengan uang, tetapi dengan etika profesionalitas kerja.
Kebetulan pada hari yang sama itu juga, seorang dosen curhat ke saya begini, “Guru di sekolah itu ya.. kan niat saya bikin acara bedah bukunya jam 14.00 pas jam bubar sekolah, jd enggak ganggu proses belajar mengajar di sana. Ehh.. gurunya yang gak mau, karena mereka mau pulang, mereka enggak mau lembur. Ya ampun, apa sih susahnya lembur bentar sampe jam 17.00. Wong kita (dosen2 yg tugasnya jg sama2 mengajar) aja sering ngajar smp malem jam 8 e..”
Hhmm.. saya jadi mikir nih.. Apa ya pantas, sosok guru seperti yang diceritain dosen itu ke saya, pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa?
Sekali lagi, saya tidak mengeneralisir, karena saya tahu.. ada guru-guru lain yang bakal mau lembur sampai sore atau bahkan sampai malam demi kemajuan murid-murid dan juga sekolahnya. Hanya saja, guru di sekolah yang notabene bagus itu (karena masuk rangking 5 besar di kota saya), merupakan potret kecil ironisnya profesionalitas seorang guru yang dipertanyakan.
Apa alasan guru itu tidak mau lembur? Enggak ada gaji lemburan? Gaji lemburannya kecil? Aduhh.. kasian sekali guru-guru di Indonesia yang pemikirannya masih seperti itu. Karena itu artinya, semua dihitung dengan uang. Padahal, pada beberapa kasus, kita harus melakukan sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan uang.
Apa susahnya lembur sebentar, mendampingi murid-muridnya yang meraih pengetahuan baru melalui bedah buku? Toh tidak setiap hari, tidak setiap bulan, tidak setiap saat.
Saya tidak tahu persis perhitungan lemburan gaji guru, tapi lebih baik itu memang diperhitungkan sekecil apapun overtime fee-nya. Dan seharusnya juga, sekecil apapun itu, tidak membuat guru bekerja asal-asalan. Asal datang, asal ngajar, asal absen, asal pulang. Belum lagi guru yang kalau ngerjain tesis mbayar orang untuk ngerjain. Aduuhh… mau jadi apa bangsa ini nantinya.
Nah, kesimpulan saya di hari guru yang mulia ini adalah, apapun profesi kita, guru, dokter, dosen, pengacara, arsitek, sekretaris, bendahara, programmer, editor, petani, peternak, dan yang lainnya.. Sudah seharusnyalah kita bekerja dengan profesional. Profesional yang saya maksud adalah bekerja dengan optimal, tidak asal-asal, bekerja keras, taat peraturan. Boleh money oriented, tapi jangan matre.
Bekerja untuk mendapatkan uang, ya, itu memang benar. Tapi ketika bekerja semata-mata untuk uang, harus dihitung dengan uang semua, menurut saya, profesi yang diembannya (apapun itu) patut dipertanyakan kesungguhannya.
PS:
Sedikit OOT, kalo mau jadi guru, ada “sumpah” yg harus diucapkan enggak sih? Seperti sumpah aristoteles yang selalu diucapkan calon dokter itu… Sebaiknya diadakan akan lebih oke tuh. Karena guru dan dokter itu menurut saya profesi yang memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan bangsa ini. Oleh karena itu, profesionalitas kerjanya musti diperkuat dengan “sumpah” yang diucapkan sebelum ditabiskan jadi guru.
Nah, kan dokter itu profesi mulia ya.. (semua profesi mulia ding). Tp mksd saya, dokter dan guru itu profesi yang unik karena bisa mengubah panggilan seseorang. Org yang dokter, di masyarakat dipanggil Pak Dokter. Org yang guru, di masyarakat dipanggil Pak Guru. Ya mungkin enggak di setiap tempat.. Tp itu kan unik.. Coba deh, mana ada yang manggil saya Bu Editor. Hahahaha…
Kredit foto: http://bataknews.wordpress.com/2007/06/22/kasihan-anak-anak-transmigran-di-hutan-borbor-itu/
Labels:
hari guru,
money oriented,
tanpa pamrih,
tanpa tanda jasa
Kamis, 04 November 2010
Jogja Diguyur Hujan Krikil, Pasir, dan Abu
Rumah saya, sekitar 23 km dari Merapi, dan 500 meter dari Stadion Maguwoharjo Sleman.
Malam dini hari ini, saya dikagetkan dgn suara gemuruh yg kencang, lebih kencang dr biasanya. Lalu diiringi getaran yang panjang & menggetarkan kaca2 di rumah saya. Kami sekeluarga bergegas ke luar rumah, dan menengok ke utara. Berjaga-jaga, jangan2 merapi kembali meletus. Tapi kabut pekat menutupi jarak pandang kami. Setelah sedikit mereda, kami kembali masuk ke rumah, tidur dengan pintu kamar terbuka, untuk waspada dan siap lari jika terjadi sesuatu.
Kami kembali dikagetkan, dengan suara "pletik-pletik" seperti hujan rintik2 yg menjatuhi genteng. Tp ini beda. Kami bergegas keluar, dan ternyata.. itu hujan krikil dan pasir. Semakin lama semakin deras dan keras. Kentongan di perumahan dipukul untuk membangunkan para warganya. Kami diminta waspada dan tetap di dalam rumah. Semakin lama, hujan krikil itu menipis menjadi hujan abu.
Saya tidak bs tidur nyenyak. Pukul 3 pagi saya baru bisa memejamkan mata dan pukul 6 pagi saya terbangun mendengar suara ramai di depan dan suara sirene. Jarak aman diperluas lagi menjadi radius 20 km. Dan mobil2 yang turun melewati gerbang perumahan saya menuju ke Stadion Maguwoharjo untuk mengantarkan pengungsi yang dipindah. Kami diperintahkan oleh Kepala Dusun untuk membuat nasi bungkus dan mengkoordinasikannya untuk dikirim ke sana. Di sana benar2 penuh. Lebih penuh daripada ketika ada sepak bola. Di sana tidak ada tikar dan dapur umum.
Saya semakin kaget, ketika mendengar bahwa Desa Cangkringan di timur perumahan saya sudah diterjang awan panas. Ya Tuhan... Sejauh itu? Desa Cangkringan itu sekitar 6 km dari rumah saya. Dan di sana banyak korban. Padahal sebelumnya, Cangkringan masih di radius 15 km yg sebelumnya dinyatakan aman. Sampai sekarang, hujan abu tipis masih menyelimuti rumah saya dan kota jogja pada umumnya.
Jujur saja, kali ini saya lebih panik & khawatir dibandingkan gempa bumi 2006 lalu. Tapi, saya harus terus waspada dan berbagi informasi penting dengan teman2 untuk keselamatan kami bersama. Listrik yang padam membuat kami sedikit terisolasi dari informasi berita. Tetapi hp yang nyala memutar radio dan memancarkan berita. Hujan abu yang pekat membuat jalan licin. Semua diminta waspada dan menaiki kendaraan dengan pelan2. Sudah banyak kecelakaan akibat terlalu panik & ngebut di jalan. Jangan lupa juga pakai kacamata & maskernya, bau belerang sangat menyengat menusuk hidung. Lebih baik, pakai jaket atau mantel plus helm dengan kaca tertutup di depan.
Untuk informasi, teman2 yang ingin memberikan bantuan, jangan hanya terkonsentrasi di Stadion Maguwoharjo, karena tempat ini yg sering diberitakan di TV. Tetapi, universitas2 di Jogja mendadak jd tempat pengungsian. Seperti UII, Jakal km.14, Univ. Sadhar, Paingan (timur Stadion Maguwo), Univ Atmajaya Babarsari & Mrican, Seminari Jakal km.7, dan Stadion Tridadi Sleman. Itu semua baru yg di Jogjakarta, yang di daerah Muntilan & Klaten masih ada lagi.
Bagi yg ingin memantau keluarga di Jogja, bisa memfollow twitter @jalinmerapi atau mengecek di google map radius lingkar aman merapi di url ini: http://merapi.combine.or.id/posko/
Teman2 semua.. Saya mohon doanya. Untuk keluarga besar penghuni Yogyakarta..
baca selengkapnya......
Labels:
getaran,
hujan abu,
hujan krikil,
hujan pasir,
meletus,
merapi,
yogyakarta
Rabu, 03 November 2010
Tuhan Tidak Pernah Menghukum Kita dengan Bencana
Bencana datang bertubi-tubi kepada negara kita. Baik bencana alam, bencana akibat ulah manusia, sampai bencana dalam pemerintahan. Akibatnya banyak pertanyaan terlontar, mengapa negara kita ini sering terkena bencana, mengapa bukan negara lain, mengapa harus kita? Ya, banyak pertanyaan itu mungkin terbersit dalam benak kita, begitu juga saya.
Salah satu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, yang saya baca di beberapa blog, dan di status teman saya adalah, bencana ini akibat ulah manusia, yang dengan kata lain Tuhan sedang menghukum manusia akibat ulah dosa-dosanya.
Saya pribadi sangat tidak setuju dengan pernyataan itu. Okey, saya memang bukan seorang ahli agama atau pemuka agama, dan nilai agama saya bukan yang terbaik di dunia ini. Tapi yang saya amini adalah Tuhan tidak pernah menghukum umatNya. Betapa pun besarnya dosa dan pelanggaran kita, Tuhan tidak pernah menghukum kita. Semua cobaan yang menimpa bumi ini, negara kita, dan kita secara pribadi, bukan untuk menghukum kita.
Kalau ada yang bertanya pada saya dan menunjukkan tentang “bencana” yang Tuhan limpahkan ke manusia pada zaman Nuh dengan air bahnya, atau hujan api pada zaman Lot di kota Sodom dan Gomora. Maka saya akan menjawab, itu dulu. Berabad-abad yang lalu sebelum masehi, dan ketika hubungan Tuhan dan manusia bisa dilakukan secara langsung. Tetapi sekarang sangat berbeda, hubungan kita dan Tuhan sejauh doa. Jalan Tuhan tidak terselami oleh apapun juga, sekalipun itu ilmu pengetahuan atau ilmu agama apapun.
Bukankah ketika Tuhan memberikan pelangi setelah air bah pada zaman Nuh, itu merupakan janji Tuhan, bahwa Tuhan tidak akan memberikan bencana sedemikian dahsyatnya lagi untuk memusnahkan manusia. Dan sampai sekarang, saya tetap mempercayainya.
Lalu, pertanyaan selanjutnya adalah, mengapa bencana bertubi-tubi itu menimpa negara kita? Menimpa keluarga kita? Menimpa saudara kita? Atau mungkin menimpa diri kita sendiri.
Secara ilmiah, saya akan menjawab bahwa bencana demi bencana itu karena letak geografis negara kita di pertemuan 3 lempeng, Eurasia, Samudra Pasifik, dan Indo-Australia. Lokasinya yang sangat subur, melimpah kekayaan alam, termasuk juga gunung menjamur di negeri ini. Selanjutnya, silakan kalian pelajari sendiri sisi ilimiah ini.
Lalu secara ketuhanan, saya akan tetap pada keyakinan bahwa Tuhan tidak pernah menghukum umatNya. Okey, sekarang begini. Kalau memang Tuhan mau menghukum umatNya, dosa apakah mereka para korban bencana itu? Apakah dosa mereka jauh lebih besar melebihi dosa para koruptor? Lalu mengapa bencana itu tidak ditimpakan saja pada para koruptor, para pembunuh, para teroris? Mengapa bencana justru menimpa pada wong cilik dengan tingkat ekonomi bawah?
Apakah bencana itu akibat kemaksiatan negara kita? Pornografi yang merajalela? Freeseks yang seakan-akan tidak lagi menjadi tabu? Kalau memang begitu, mengapa bencana itu tidak ditimpakan saja ke negara-negara barat yang memperbolehkan freeseks. Mengapa tidak ditimpakan saja ke rumah bordil, lokalisasi psk, atau artis-artis bintang bokep?
Saya, yang notabene manusia biasa ini, punya pemikiran dan jawaban yang berbeda. Menurut saya, bencana adalah suatu ujian dari Tuhan untuk umatNya. Ibarat guru yang selalu memberikan pelajaran-pelajaran baik setiap harinya, maka suatu hari aka nada ulangan alias ujian. Bahkan tidak jarang juga guru kita memberikan ulangan dadakan. Ya, seperti Tuhan juga. Bencana ini untuk menguji kita, apakah kita sudah layak disebut umatNya.
Secara teori semua kitab suci sudah disebutkan, bahwa kita harus mengasihi orang lain terutama orang tertindas, kita harus menolong orang yang kesusahan, kita tidak boleh mendewakan harta benda, kita tidak boleh membeda-bedakan orang lain, dan lain sebagainya. Tetapi bagaimana kalau teori itu “ditantang” Tuhan untuk dipraktikkan?
Dari bencana kita belajar untuk sabar, semua ujian hidup yang mendera tidak pernah melebihi kekuatan kita sebagai manusia.
Dari bencana kita belajar untuk tabah, kita pasti dikuatkan oleh rekan-rekan yang ada di sekitar kita, jadi belajarlah untuk “melihat” mereka dan tidak menyalahkan diri sendiri.
Dari bencana kita diajarkan untuk berserah, sekalipun itu menimpa keluarga kita dan mengambil nyawa orang-orang yang kita cintai, tetapi berserahlah karena pasti ada rencana yang indah di balik itu semua.
Dari bencana kita belajar untuk pasrah, menyerahkan semuanya kepada Tuhan, karena yang punya kehidupan kekal ini cuma Tuhan, kita ibarat artis yang bersandiwara mengikuti scenario yang dibuatNya.
Dari bencana kita belajar untuk berbagi, karena rejeki yang Tuhan beri kepada kita tidak boleh dinikmati sendiri. Ingat, tidak ada orang yang miskin karena memberi.
Dari bencana kita belajar untuk menolong, karena kalau kita mengatakan “aku mencintaiMu Tuhan”, tetapi kita tidak menolong orang lain, itu sama saja omong kosong. Tuhan itu ada dalam diri mereka yang akan kita tolong dan juga dalam diri siapapun mereka yang pernah menolong kita.
Dari bencana kita belajar untuk tidak membeda-bedakan, semua manusia itu sama dihadapan Tuhan. Kaya miskin, kuat lemat, dari suku A suku B, dari partai A partai B, dari agama A agama B. Semuanya sama. Dan maukah kita berbagi dan menolong kepada orang-orang yang kita katakan “berbeda”?
Dari bencana kita belajar untuk tidak mendewakan ilmu pengetahuan, Tuhan memang memberi kita akal budi dan pikiran untuk menjelajah bumi dan segala isinya. Tetapi ilmu pengetahuan yang paling mutakhir pun bisa dipatahkan Tuhan.
Dari bencana kita belajar untuk tidak mendewakan harta benda, karena semua itu tidaklah abadi. Harta hanyalah titipan Tuhan di bumi ini untuk dikelola dengan baik, bukan dibawa sampai mati. Masih ingatkan cerita istri Lot yang menjadi tiang garam karena dia masih menengok ke belakang dan melihat rumah dan harta bendanya habis dibakar hujan api? Ya, itu teori kitab sucinya. Ketika sudah dalam kehidupan nyata, mampukah kita benar-benar melaksanakannya.
Dari bencana kita belajar bahwa hidup itu sementara, susah sedih sementara, kaya miskin sementara, dan suatu saat siapa pun juga pasti akan mengalami kematian. Siap tidak siap, tidak ada yang tahu kapan kita mati dan dengan cara bagaimana. Tapi satu hal yang bisa kita siapkan adalah mengisi kehidupan ini dengan berbuat baik kepada siapa saja.
Yaa.. Banyak yang bisa kita pelajari dari bencana. Takdir membawa kita dilahirkan dari rahim ibu berkebangsaan Indonesia. Takdir pula yang membawa kita hidup dan berkarya di Indonesia. Dan sekali lagi, bencana bukan cara Tuhan menghukum manusia tetapi menguji kita untuk bisa naik kelas lagi dalam sekolah kehidupan. Selanjutnya? Kualitas hidup kita akan jauh lebih meningkat.
Selamat menjalani hidup kawan! Tuhan memberkati.
baca selengkapnya......
Bencana Jadi Ajang Eksis
Merapi kembali memuntahkan erupsi lahar panasnya. Kali ini lebih dahsyat, ilmuwan bilang 3x melebihi letusan di tahun 2006 lalu. Efeknya memang terasa sampai di kota. Selain hawa panas yang terasa, abu vulkanik pun membuat Jogja gelap & sesak oleh bau belerang yang menyengat.
Tidak hanya itu saja. Sekarang, gunung-gunung berapi lainnya pun mulai naik dalam status waspada. Ahh.. Ada apa dengan Indonesia? Orang-orang menyebut bencana alam itu untuk menghukum manusia. Stop! Tuhan tidak pernah menghukum umatNya. It's not fair, karena kenyataannya kita semua ini berdosa & masih hidup serta diberi kesempatan untuk bertobat. Orang-orang ahli penghitung angka mengait-ngaitkan tanggal kejadian dengan ayat-ayat di Kitab Suci. Ah, saya tidak terlalu memusingkannya. Orang-orang ramai-ramai ketakutan dengan sms yang menyesatkan dan menyuruh kita untuk tidak tidur, bahkan kalau perlu mengungsi. Ah, saya hanya menyerahkan semua pada Tuhan karena kemana pun saya berlari, kalau sudah takdir, tak bisa dihindari.
Gara-gara peristiwa ini, saya baru mengetahui bahwa 13% gunung di bumi ini berada di Indonesia. Itu artinya, Indonesia memiliki gunung terbanyak di dunia & teraktif. Satu gunung termuda & teraktif di dunia adalah Gunung Merapi. Itu artinya, ternyata saya tinggal di kaki gunung tersebut. Wow!!
Tidak! Saya tidak bermaksud untuk menakut-nakuti. Gunung Merapi yang indah itu bukan untuk dimaki sebagai perusak kehidupan manusia dan bukan untuk ditakuti. Dia telah menghidupi masyarakat Jogja dengan airnya yang segar dan jernih, dia telah membangun gedung-gedung pencakar langit dengan pasirnya yang kualitas bagus, dan dia juga yang membuat Jogja menjadi kota yang adem, aman, dan nyaman, karena hawanya yang sejuk. Saat ini kita hanya perlu bersabar menunggu dia tidur kembali.
Satu hal yang membuat saat ini saya sangat takjub, apalagi fenomena social networking sedang membooming. Semua orang berlomba-lomba mengupdate statusnya: "sedang di shelter A, memberikan bantuan untuk korban merapi", atau mungkin mengupload foto2 dengan gayanya yang eksis, "perusahaan A, menyumbangkan sekian puluh juta untuk korban merapi". Sampai di sana, bendera nama perusahaan itu dikibarkan dengan dalih sebuah wujud CSR. Ah, saya pikir itu sama seperti numpang promosi di tengah bencana.
Kalau selama ini kita sering mengatakan, "Partai A tuh, pasang bendera di sana. Pasti kampanye tuh.. biar pemilu besok, kadernya yang menang". Sebaiknya kita berpikir ulang, apakah selama ini kita seperti itu juga? Bukankah sama, kalau partai itu memasang bendera partainya, kita sebenarnya sama saja dengan memasang nama perusahaan kita. Kalau partai itu ingin mencari massa, supaya besok banyak yang mencontrengnya, perusahaan2 itu pun ingin supaya produknya dikenal dan dibeli banyak orang.
Tidak bisa dipungkiri, bencana memang salah satu cara untuk numpang ngeksis. Kalau dulu ngeksisnya hanya di lokasi bencana, sekarang kita bisa ngeksis juga di social networking. Seakan-akan kita ini sudah menjadi orang yang paling dermawan di mata banyak orang dengan menyumbang sekian banyak untuk para korban bencana. Tuhan menginginkan itukah? Saya katakan, tidak! dengan keras.
Kalau kita memberi dengan uluran tangan kanan, sebaiknya sembunyikan tangan kiri kita. Maksudnya, Tuhan tidak ingin kita jadi sombong dan menepuk dada, karena kita dan perusahaan, atau kita dan partai kita, bisa menyumbang sekian puluh juta.
Dan, saya kembali bertanya. Beranikah kita memberi & menyumbang kepada korban bencana di sana, dengan datang dan menulis di buku tamu daftar penyumbangnya, "dari PT NN", "dari Partai NN", "dari Komunitas NN"?
Yang mencatat amal ibadah kita adalah Tuhan, bukan para relawan penjaga shelter penampungan. Dan yang melihat seberapa tulus kita membantu adalah Tuhan, bukan para friendlist atau follower kita di social networking.
Selamat membantu sesama kita dan tak henti-hentinya saya mengajak kita semua untuk #prayforindonesia.
baca selengkapnya......
Langganan:
Postingan (Atom)