Kamis, 19 Februari 2009

Nge-Slank bareng Garin Nugroho dan Generasi Biru

“Pasti kalo film ini muncul di jaman Soeharto, sudah dicekal” kata seorang teman ketika kami sedang menonton film karya Garin Nugroho – “Generasi Biru”. Film ini dimainkan oleh Slank, sebuah band yang usianya bahkan lebih tua daripada usia saya 25 thn.

Khas sekali film Garin. Menurut saya, dari scene satu ke scene lainnya susah dimengerti, karena kesannya enggak nyambung. Tapi, setelah hampir akhir2 film, barulah kita bisa berkata “Oo.. jadi maksudnya tuh gini too…”

Pantas juga ketika di brosurnya ditulis “Dari ‘Opera Jawa’ ke ‘Rock and Roll’”, karena film ini memang opera jawa (film Garin sebelumnya) banget tapi dikemas dengan nge-slank. Kalau di “Opera Jawa” dulu, jujur saja saya tidak begitu mengerti esensi penting dari film itu. Mungkin saja karena ketika itu, otak saya belum dipaksa berpikir kritis dan dewasa. Tapi melihat animo masyarakat, sepertinya justru film “Opera jawa” yang heboh sekali penontonnya. Sampai-sampai pemutarannya di Jogja diperpanjang. Bagaimana nasib film “Generasi Biru” ini yaa… Ah, terlalu dini untuk mereview.

Film “Generasi Biru” ini beda dan lebih meremaja. Ada gokilnya, ada nyleneh ke arah ‘saru’nya (tapi emang ini kan yang digemari anak2 sekarang), ada sisi kemanusiaannya, dan ada kritik sosialnya. Jadi, itulah kenapa teman saya tiba2 menyeletuk demikian.

Sekarang kita memang hidup di generasi biru, yang merdeka dan bebas berekspresi serta berpendapat. Tapi seharusnya kebebasan itu digunakan dengan sebaik-baiknya. Bukan asal manut dengan yang ketok palu, tapi juga bukan asal semprot tanpa pemikiran yang matang.

Film ini mengingatkan kita bahwa negara ini pernah mengalami tragedi kemanusiaan besar-besaran, bahkan kalau mau ditelusuri di setiap provinsi mungkin saja masih ada. Mulai dari kerusuhan Mei 1998, Konflik Ambon, krisis gizi, krisis pangan dan air, dll.

Menurut saya, disinilah hebatnya Slank dan Garin Nugroho. Ketika genenasi biru sesungguhnya ada di tangan remaja, padahal remaja adalah saat rentan dengan berbagai godaan. Lalu, film ini muncul dengan maksud mengajak mereka supaya lebih peduli dengan negaranya. Serta benar-benar menanamkan P.L.U.R – Peace.Love.Unity.Respect dalam diri setiap generasi biru – generasi bangsa.

Yah, sekarang kita memang tidak hidup lagi di jaman kuping kita ditutup, ruang gerak kita dibatasi dengan kerangkeng, atau manusia yang tidak dimanusiakan. Meski, sekarang ini masih banyak kejadian yang seperti masa-masa itu. Tapi, mungkin patutlah kita bersyukur karena negara kita sudah banyak berubah, yang perubahan itu dilakukan oleh para generasi biru dan untuk generasi biru.

Coba saja deh, tengok negara tetangga di Korea Utara dengan paham komunisnya. Sampai sekarang ini mereka begitu mengidolakan “the great jenderal”nya yang sudah meninggal. Bahkan fotonya pun disembah-sembah dan tak boleh geser sedikit pun dari gantungan. Mereka diajarkan anti-Amerika, padahal pemimpin barunya sekarang diduga diam2 mengonsumsi produk Amerika. Dan lucunya, lirik lagu kebangsaannya ada kata2 pujaan kepada “the great jenderal”.

Wah, untunglah negara kita telah melewati masa-masa itu. Bukan untuk dilupakan, tapi untuk dipelajari. Dan… coba kalau film ini dibuat oleh warga Korea Utara ya? Mungkin nasibnya seperti surat kabar Indonesia jaman dulu.

Tidak ada komentar: