Kamis, 25 November 2010

Guru Tanpa Tanda Jasa, Masih Adakah?

Tanggal 25 November 2010 kemarin adalah hari guru. Saya jadi berpikir, kenapa ada hari guru ya? Seberapa hebatnya mereka sehingga bisa sampai dijadikan hari istimewa? Kenyataannya guru zaman sekarang, menurut saya, tidak sehebat guru zaman dulu, yang benar-benar pantas diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa. Karena mereka dulu benar2 tidak diberi jasa yang "layak" atau bahkan tanpa jasa sama sekali.

Saya lantas melontarkan pendapat2 saya di twitter. Yang sebenarnya ingin "menyenggol" profesionalitas seorang guru. Meski hanya suara kecil, tapi bukankah saya juga warga negara indonesia yang punya hak untuk bersuara?

Tanpa disangka, twit saya itu ditanggapi oleh teman saya yang orangtuanya seorang guru. Kira-kira, begini bunyinya, “Kalau tanpa pamrih, gmn ortuku kasih makan ke kami anak2nya?”

Menarik! Ya, bekerja tanpa pamrih. Hari gini? Ada yang mau bekerja tanpa pamrih? Tanpa digaji? Zaman dulu bisa, karena kebutuhan dulu hanya masalah perut. Kalau sekarang? Pangan, papan, sandang, dan sebagainya. Bahkan handphone sekarang pun seakan-akan jadi kebutuhan primer.

Kembali ke mengapa ada hari guru? Mengapa tidak ada hari editor? *secara,profesi saya editor :p* Atau, mengapa tidak ada Hari Petani? Padahal mereka juga sangat berjasa mengisi perut-perut kita yg kelaparan.

Menurut analisis saya, itu karena guru dianggap hebat (pada zaman itu). Guru benar-benar bekerja keras mengeluarkan Indonesia dari belenggu penjajah dengan pendidikan. Bahkan banyak guru juga yang tidak digaji, salah satunya eyang kakung saya. Beliau menghidupi 9 anaknya, dengan warung yang dikelola eyang putri saya dan juga sawah yang menghasilkan. Tapi semangat guru-guru zaman dulu benar-benar hebat! Bersepeda ke sekolah. Kalau hujan, sampai di sekolah dengan kaki berlumpur. Belum lagi kelas yang terbatas sehingga membuat guru-guru itu harus mengajar sampai sore, karena harus berbagi dengan kelas-kelas lainnya, sedangkan gurunya cuma terbatas. Belum lagi, gajinya kecil. Parahnya, kadang enggak digaji.

Menurut saya, itu yang membuat guru diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa, dibuatin lagu, dan ada hari guru juga.

Nah, semakin majunya Indonesia dan protes yang dilakukan pihak sana-sini, membuat guru sekarang semakin diperhatikan kesejahteraannya. Gajinya dinaikkan berkali-kali lipat. Belum lagi kalo ada gaji ke 13 atau gaji ke 14. Wah… pakde saya yang guru itu jadi kaya raya dan bisa beli tanah bermeter-meter! In case, guru yg PNS lo ya.. Kl guru honorer atau swasta, beda lagi nanti pembahasannya.

Ibaratnya jadi begini. Yang susah nenek moyangnya yang guru, yang menikmati hasilnya cucu-cucunya yang guru. *semoga guru zaman dulu bs menikmati gaji pensiun yg memuaskan seperti gaji guru sekarang*

Kembali lagi ke bekerja tanpa pamrih, hari gini adakah yang mau? Di semua profesi manapun, yang sanggup bekerja tanpa pamrih, saya meragukan keberadaannya. Di tengah himpitan kebutuhan hidup, mau tidak mau kita membutuhkan uang. Mengutip kata teman saya, “money is not everything, but you need money to have anything”.

Benar memang. Ketika kita bekerja, kita memang sedikit banyak mulai belajar untuk “money oriented”. Tetapi, mbok ya jangan banget-banget. Kalo banget-banget, kita bakal tumbuh jadi bangsa yang matre, yang semua dihitung dengan tolok ukur uang. Padahal, tidak semua bisa dihitung dengan uang, tetapi dengan etika profesionalitas kerja.

Kebetulan pada hari yang sama itu juga, seorang dosen curhat ke saya begini, “Guru di sekolah itu ya.. kan niat saya bikin acara bedah bukunya jam 14.00 pas jam bubar sekolah, jd enggak ganggu proses belajar mengajar di sana. Ehh.. gurunya yang gak mau, karena mereka mau pulang, mereka enggak mau lembur. Ya ampun, apa sih susahnya lembur bentar sampe jam 17.00. Wong kita (dosen2 yg tugasnya jg sama2 mengajar) aja sering ngajar smp malem jam 8 e..”

Hhmm.. saya jadi mikir nih.. Apa ya pantas, sosok guru seperti yang diceritain dosen itu ke saya, pantas disebut pahlawan tanpa tanda jasa?

Sekali lagi, saya tidak mengeneralisir, karena saya tahu.. ada guru-guru lain yang bakal mau lembur sampai sore atau bahkan sampai malam demi kemajuan murid-murid dan juga sekolahnya. Hanya saja, guru di sekolah yang notabene bagus itu (karena masuk rangking 5 besar di kota saya), merupakan potret kecil ironisnya profesionalitas seorang guru yang dipertanyakan.

Apa alasan guru itu tidak mau lembur? Enggak ada gaji lemburan? Gaji lemburannya kecil? Aduhh.. kasian sekali guru-guru di Indonesia yang pemikirannya masih seperti itu. Karena itu artinya, semua dihitung dengan uang. Padahal, pada beberapa kasus, kita harus melakukan sesuatu yang tidak bisa dihitung dengan uang.

Apa susahnya lembur sebentar, mendampingi murid-muridnya yang meraih pengetahuan baru melalui bedah buku? Toh tidak setiap hari, tidak setiap bulan, tidak setiap saat.

Saya tidak tahu persis perhitungan lemburan gaji guru, tapi lebih baik itu memang diperhitungkan sekecil apapun overtime fee-nya. Dan seharusnya juga, sekecil apapun itu, tidak membuat guru bekerja asal-asalan. Asal datang, asal ngajar, asal absen, asal pulang. Belum lagi guru yang kalau ngerjain tesis mbayar orang untuk ngerjain. Aduuhh… mau jadi apa bangsa ini nantinya.

Nah, kesimpulan saya di hari guru yang mulia ini adalah, apapun profesi kita, guru, dokter, dosen, pengacara, arsitek, sekretaris, bendahara, programmer, editor, petani, peternak, dan yang lainnya.. Sudah seharusnyalah kita bekerja dengan profesional. Profesional yang saya maksud adalah bekerja dengan optimal, tidak asal-asal, bekerja keras, taat peraturan. Boleh money oriented, tapi jangan matre.

Bekerja untuk mendapatkan uang, ya, itu memang benar. Tapi ketika bekerja semata-mata untuk uang, harus dihitung dengan uang semua, menurut saya, profesi yang diembannya (apapun itu) patut dipertanyakan kesungguhannya.

PS:
Sedikit OOT, kalo mau jadi guru, ada “sumpah” yg harus diucapkan enggak sih? Seperti sumpah aristoteles yang selalu diucapkan calon dokter itu… Sebaiknya diadakan akan lebih oke tuh. Karena guru dan dokter itu menurut saya profesi yang memberi sumbangan besar bagi kesejahteraan bangsa ini. Oleh karena itu, profesionalitas kerjanya musti diperkuat dengan “sumpah” yang diucapkan sebelum ditabiskan jadi guru.

Nah, kan dokter itu profesi mulia ya.. (semua profesi mulia ding). Tp mksd saya, dokter dan guru itu profesi yang unik karena bisa mengubah panggilan seseorang. Org yang dokter, di masyarakat dipanggil Pak Dokter. Org yang guru, di masyarakat dipanggil Pak Guru. Ya mungkin enggak di setiap tempat.. Tp itu kan unik.. Coba deh, mana ada yang manggil saya Bu Editor. Hahahaha…

Kredit foto: http://bataknews.wordpress.com/2007/06/22/kasihan-anak-anak-transmigran-di-hutan-borbor-itu/

2 komentar:

Anonim mengatakan...

mari baca tanggapan saya di sini.

Anonim mengatakan...

Saya tahu kondisinya seperti apa, karena saya termasuk ke dalam sistem pendidikan tersebut. Mohon doa nya, karena masih ada guru-guru yang mencoba istiqomah untuk anak-anak
Bismillah...

- Duck -