Kamis, 16 Oktober 2008

Kotaku panas sekali, sedang sakitkah dikau?

Pada tanggal 17 Oktober 2008, matahari akan terus menyinari kita selama 36 jam (1.5 hari). Dan selama itu Amerika dan tetangga-tentangganya akan gelap 1,5 hari. Ini akan mengkonversi 3 hari menjadi 2 hari besar. Ini terjadi setiap 2400 tahun sekali. Kita beruntung dapat menyaksikan dan merasakannya.



Saya mendapatkan pesan hoax itu di YM pada tanggal 14 Oktober 2008. Mungkin diantara teman-teman juga ada yang sudah mendapatkannya, baik via YM ataupun fasilitas internet lainnya. Tapi, berita ini sepertinya memang marak sekali menyebar di dunia maya.


Dua hari kemudian tepatnya tanggal 16 Oktober 2008, saya membaca sebuah berita di Kompas Online dengan judul “Bohong, Matahari Terlihat 36 Jam”, dengan alasan logisnya demikian;

“Pada sistem rotasi bumi sering disebut memiliki gerak gasing dengan kemiringan sumbu 23,5 derajat, tetapi tetap tidak memungkinkan wilayah ekuator mendapatkan sinar matahari sampai 36 jam dalam 2.400 tahun sekali seperti dinyatakan di dalam kabar bohong itu.” tutur Thomas Djamaludin, peneliti utama bidang astronomi astrofisika pada Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).

Ditambahkan pula oleh Mezak Arnold Ratag, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), bahwa penyinaran matahari di wilayah ekuator termasuk Indonesia yang memiliki batas koordinat 11 derajat Lintang Selatan (LS) sampai 6 derajat Lintang Utara (LU), rata- rata melihat sinar matahari hanya selama 12 jam plus atau minus 45 menit. Kemungkinan matahari dapat terlihat selama 36 jam sangat tidak mungkin.


Terlepas dari pesan singkat yang ternyata adalah hoax dan bohong belaka, tapi suatu fenomena alam yang saat ini sedang saya rasakan dan keluhkan adalah “Matahari sedang bersinar sangat kejam, membuat kota saya panas sekali akhir-akhir ini.” Bahkan ketika lunch break time saya berjalan melewati perempatan Mirota Kampus Dept. Store, di atas gedungnya terpampang suhu kota yang menunjukkan angka 37ºC. Waahhh gila, pantesan panas sekali. Sungguh panas yang menyengat, membuat gerah, dan malas beranjak keluar kantor kalau tidak kepepet.

Ada apakah gerangan? Biasanya bulan Oktober bumi Jogja sudah diguyur hujan, tapi Oktober tahun ini saya tidak merasakannya. Aneh sekali, ketika di sudut kota Jogja yang lain diguyur hujan lebat, sedangkan di lokasi tempat saya berada panas begitu menyengat.


Saya kira, fenomena ini tidak hanya terjadi di kota Jogja melainkan di kota-kota lain di seluruh Indonesia. Tapi, ketika ngobrol dengan teman dari Pontianak dia justru mengeluhkan bahwa di kotanya hujan turun terus tiada henti. “Wah… wah… bisa-bisa predikat kota khatulistiwa pindah ke Jogja ya.. Atau mungkin garis khatulistiwanya sudah bergeser ke arah lintang selatan.” gurau saya.


Ketika saya mengeluhkan panasnya kota saya ke seorang teman dari India yang tinggal di Oman, dia justru mengatakan pada saya demikian “Seharusnya kamu bersyukur, suhunya baru 37ºC. Di Oman suhu biasanya 42-45ºC, tapi akhir-akhir ini disini juga sangat panas sekali, dan suhunya bisa mencapai 50ºC.” Wahh… gilaa.. Saya mungkin bisa terpanggang jika tinggal disana.


Yah, mungkin inilah alasan mengapa selalu dielu-elukan “Let’s Go Green!” atau “Stop Global Warming!”.


Seperti yang dulu sempat dibahas di Kick Andy pada Jumat, 3 Oktober 2008, bahwa temperatur bumi dibaca lewat suhu di Kutub Selatan dan Kutub Utara. Jika terjadi perubahan suhu di kedua kutub tersebut, maka bisa dikatakan bahwa bumi secara keseluruhan sedang sakit.


Ketika terjadi pemanasan global, es-es di kedua kutub itu akan mencair. Bukan mencair dan menetes seperti yang kita bayangkan jika es batu mencair, melainkan mencair yang seperti tanah longsor. Itu membunuh populasi binatang-binatang kutub di sana dan membuat pulau-pulau di belahan bumi lainnya akan tenggelam ditelan laut.

Menjadi sangat wajar jika di belahan bumi lain panas begitu menyengat sampai terjadi kekeringan, sedangkan di belahan lainnya lagi hujan turun tiada henti sampai terjadi banjir besar. Inilah salah satu efek dari Global Warming.


Saya bukan simpatisan LSM atau apapun itu, tapi saya pribadi mencoba berpikir “Apa yang bisa saya berikan pada bumi saya supaya dia cepat sembuh.” Yah, dengan bertindak sekecil apapun itu, dimulai dari diri sendiri, dari lingkungan kita berada, pastinya dampaknya akan semakin besar. Menghemat listrik, menghemat bensin, menghemat kertas, menghemat pembuangan plastik dan tisu, serta masih banyak lagi.


Ya, karena saya tidak mau jika anak cucu saya hidup susah hanya karena bumi ini sakit-sakitan terus.


1 komentar:

Runnebelle mengatakan...

jogja emang makin panas non...