Senin, 13 Oktober 2008

Nasi Goreng di Jl. Legian, Kuta – Bali

Tepat enam tahun yang lalu terjadi sebuah peristiwa luar biasa di Legian, Kuta – Bali. Teror bom menyerang Paddy’s Club dan Sari Club. Kurang tahu pukul berapa tepatnya, tetapi yang paling saya ingat adalah tanggal 12 Oktober 2002 sekitar pukul 11 malam WITA.



Saya memang tidak berada di lokasi kejadian pada saat itu. Tapi saya tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan disana saat itu. Legian – Kuta yang biasanya ramai diisi wisatawan yang tersenyum bahagia menikmati liburannya, tiba-tiba harus menangis kehilangan, menjerit kesakitan, berteriak minta tolong, dan hanya termangu melihat semuanya habis ditelan bom.


Dua bulan sebelumnya yaitu bulan Agustus awal tahun 2002 (saya lupa tepatnya tanggal berapa), saya sedang menikmati liburan keluarga di Kuta, Bali. Malam itu kira-kira pukul 10 malam waktu setempat, saya dan keluarga berjalan kaki menyusuri Jl.Legian. Karena perut lapar, dan tidak ada makanan yang cocok di lidah kami, maka bapak memutuskan untuk mengajak kami makan nasi goreng saja. Nasi goreng jawa yang biasa dijual dengan gerobak, dan banyak ada di kota asal saya, Yogyakarta.


Gerobak penjual nasi goreng yang berhenti di depan sebuah toko yang sudah tutup (saya lupa itu toko apa) dan berada di sebuah gang kecil yang cukup sempit. Ada sedikit meja dan kursi ditata untuk para pembelinya yang mau makan disitu. Aneh memang jika itu ditemukan di Kuta, Bali sebuah tempat yang membuat kita seakan-akan berada di luar negeri karena banyak turis asingnya. Tapi, memang begitulah yang sedang saya alami malam itu. Mungkin sang penjual memang bermaksud menyediakan makanan bagi turis domestik yang tidak cocok dengan menu makanan yang biasa ada di Kuta, seperti steak, spagethi, beef grilled, dll.


Sambil menunggu nasi goreng dibuat, bapak lalu mengobrol dengan penjual nasi goreng itu, dan diketahuinya bahwa ternyata mereka berasal dari daerah yang sama yaitu Banyuwangi, Jawa Timur. Dia mencoba mengadu nasib di pulau seberang dan menjadi penjual nasi goreng di Kuta, Bali. Kembali bapak mengobrol dengan penjual nasi goreng itu menggunakan bahasa jawa, “Niku rame-rame enten nopo tho?” atau “Itu ramai-ramai ada apa sih?”. Lalu dijawabnya demikian “Oo.. niku diskotik, nggih biasane namung turis ingkang remen dolan ting mriku.” atau “Oo.. itu diskotik, ya.. biasanya cuma turis asing yang seneng main ke situ.”


Bapak masih melanjutkan ngobrol dengan penjual nasi goreng itu, sedangkan saya yang saat itu masih duduk di kelas 3 SMA hanya melihat sambil lalu ke kerumunan gedung yang banyak orangnya. Sebuah pemandangan yang sangat biasa terjadi Bali, banyak diskotik dan hampir semuanya tidak ada yang sepi pengunjung.


Dua hari kemudian, kami sekeluarga pulang ke Jogja dan melanjutkan aktivitas harian kami masing-masing. Lalu dua bulan kemudian, pagi hari tanggal 13 Oktober 2002 saya yang tengah bersiap-siap berangkat sekolah tiba-tiba dikagetkan dengan berita di TV yang menjelaskan bahwa semalam baru saja terjadi pemboman di Legian, Kuta – Bali. Seakan tidak percaya, karena sepertinya baru saja saya meninggalkan pulau dewata itu. Karena saya terburu-buru sekolah, jadi berita itu saya simak sambil lalu saja.


Malamnya, kembali saya dan keluarga menonton Liputan 6 SCTV dan hampir seluruhnya isi berita itu tentang peristiwa menyedihkan itu. Satu hal yang membuat saya terhenyak adalah ketika saya mengetahui lokasi pemboman itu “Sari Club”, Jl. Legian, Kuta, Bali. Sebuah diskotik dekat dengan gang kecil tempat penjual nasi goreng itu mencari nafkah. Entah bagaimana nasib penjual nasi goreng itu, meski firasatku mengatakan bahwa dia baik-baik saja, tapi jika malam itu dia memang berada di tempat itu pasti kenangan buruk tentang peristiwa pemboman itu tidak akan hilang dari benaknya.


Sama seperti ingatanku tentang Bali sebelum adanya terorisme.


Tidak ada komentar: