Selasa, 09 Juni 2009

RS OMNI vs Prita Mulyasari

Anda pasti sudah tidak asing lagi dengan kasus Prita Mulyasari dengan RS OMNI Internasional. Berita ini begitu heboh, bahkan sampai menutup pemberitaan yang lain seperti kasus Ambalat, jatuhnya pesawat Herkules, dan pembunuhan Nassrudin. Sampai-sampai di Facebook pun juga ramai dibicarakan, status dukungan terhadap Prita Mulyasari, atau miris terhadap masalah ini, berlomba-lomba ditulis oleh orang-orang di status Facebooknya. Ada juga grup “Dukung Prita Mulyasari” dengan comment yang banyak sekali, intinya dukungan untuk Prita.

Saya tidak mau membahas mendalam tentang dukungan saya kepada salah satu pihak. Bisa-bisa saya juga kena jerat UU ITE tentang pencemaran nama baik tersebut. Wah… jangan sampai deh… :-)

Yaa.. Saya cuma mau berbagi pemikiran saya tentang kasus ini. Bagi saya, kasus ini memang miris sekali. Prita dijerat oleh UU yang baru seumur jagung, karena baru disahkan bulan April 2008 lalu. Saya jujur tidak tahu bagaimana proses pembuatan UU tersebut, karena saya sendiri tidak merasa UU ini ramai dibicarakan sebelumnya. Tidak seperti UU Pornografi yang dilempar dulu ke publik, bahkan dibuat debat di televisi swasta. Jadi mikir nii… jangan-jangan UU ini take it from granted. Ada enggak ya, trial and error untuk setiap UU yang dibuat pemerintah?

Dari yang saya pernah baca di Kompas, Senin 8 Juni 2009. Dari situ saya baru tahu bahwa sebenarnya pemerintah Indonesia sudah diminta untuk menghapus pasal tentang pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan. Tapi, sampai sekarang masih juga belum dilaksanakan.

Menurut saya memang bener deh, pasal yang menyinggung tentang pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan ini adalah sesuatu yang relatif. Ketika saya mengatai seorang A dengan kalimat, “kamu jelek sekali. Kalau begitu tidak ada yang mau berteman denganmu,”. Mungkin dia bersikap biasa saja dan tidak membalas kata-kata saya. Tapi lain halnya jika saya mengatai seorang B dengan kalimat yang sama. Mungkin dia akan marah dan menuntut saya telah mencemarkan nama baiknya. Intinya, tingkat sensitifitas orang itu beda-beda.

Fiuuhh… miris sekali. Bukankah UU dan hukum itu sifatnya pasti dan diberlakukan sama ke semua pihak. Melihat ini, saya jadi khawatir dengan nasib penegakan hukum Indonesia untuk selanjutnya. UU yang disusun oleh DPR, yang notabene mereka digaji besar dari uang rakyat. Tapi, UU itu sendiri dibuat untuk menjerat rakyat. Mereka yang punya super power dan money power menggunakan UU itu dengan semena-mena. Jadilah kasus Prita ini terjadi.

Melihat kasus Prita ini, saya rasa Prita sedang apes karena bertemu dengan pihak industri yang sangat sensitif, dan seperti yang dibilang seorang dokter ketika diwawancarai di TV – bahwa industri tersebut bersikap cukup arogan.

Pihak RS OMNI pun juga tidak kalah apesnya. Mereka hanya berniat untuk menuntut Prita dan menyelesaikannya di meja hijau. Tapi ternyata kasus ini tercium media elektronik alias TV. Jadinya, ramai-ramailah massa menghakiminya.

Kasus Prita ketika dilayani dengan tidak baik di RS mungkin sebuah kasus yang sederhana. Tapi, kemudian Prita curhat ke temennya dan temennya menyebarluaskan ke milis-milis. Akhirnya jadi tidak sederhanalah kasus itu. Didukung juga, tata bahasa yang kemudian dijadikan alasan pihak penuntut. Gaya bahasanya mungkin kurang halus dan tidak ada editornya di situ.

Reaksi RS OMNI pun juga terlalu berlebihan. Dengan memasang iklan besar setengah halaman SK Kompas pada bulan November 2008. Orang-orang pembaca Kompas jadi penasaran dan mencari tahu masalahnya apa sih, kok sampai masang iklan gede begitu. Saya yakin memori itu tidak akan lama, mereka akan segera melupakan iklan besar tersebut. Tapi sayangnya, tuntutan RS OMNI dan memenjarakan Prita yang tercium media TV kali ini membuat masalah jadi runyam. Orang yang dulu sudah lupa dengan iklan besar tersebut, jadi berusaha mengingat lagi (seperti saya ini), dan orang yang tidak pernah tahu atau tidak pernah mendapat email dari Prita tersebut jadi berusaha mencari tahu. Lalu ramailah massa menghakimi OMNI.

Padahal sebenarnya, masalah sederhana itu tidak usahlah dibahas terlalu bahkan sampai tuntut menuntut ke meja hijau. Masyarakat di Indonesia yang melek internet masih lebih sedikit dibanding yang melek televisi. Meski pelanggan OMNI itu rata-rata orang yang melek internet, tapi kenyataannya tidak semua orang yang melek internet itu tahu masalah ini. Jadi, karena sudah terangkat televisi.. OMNI kena bumerangnya sendiri.

Kasus Prita dianggap sebagai penyelamat kasus-kasus serupa lainnya yang sampai ke meja hijau tapi tidak tercium media. Dan kasus ini digunakan para capres untuk menyuarakan pendapatnya demi meraih simpati masyarakat. Belum lagi, kasus ini juga menjerat si Jaksa dan juga si Pembuat UU. Duh.. duh.. jadi lingkaran setan gini. Semua saling bertautan. Lalu sampai kapan ya akan selesai? Kasian Prita enggak bisa kerja.

Yaa… untuk kita sebagai orang awam (konsumen/pelanggan) dan juga sebagai industri atau pemerintah. Banyak pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini. Seperti pepatah “Mulutmu Harimaumu”. Kata-kata kita bisa jadi bumerang dan sandungan buat kita sendiri. Jadi lebih baik berhati-hati sajalah. Apalagi karena kita tinggal di Indonesia – di mana segala sesuatunya masih belum pasti dan belum stabil ini.

2 komentar:

Tira mengatakan...

Menurutku..
kacian d OMNI...
ga punya manual crisis yang bagus..
ga ada humasnya kali..

jadi salah melangkah, semakin jelek deh namanya...

thinkwithnonie mengatakan...

hehe, tira berminat jadi humasnya OMNI..