Rabu, 04 November 2009

Wanita Penjual Roti Sus



Semalam, saya dan pacar makan malam di sebuah warung makan (berlabel chinese food) di Jalan Moses Gatutkaca, Mrican, Yogyakarta. Ramai sekali malam itu. Ya.. seperti malam-malam biasanya. Di mana pengunjung harus makan sambil berdesak-desakan dan buru-buru bergantian dengan pengunjung lain yang mau makan. Tidak ada pengamen di situ, yang ada juru masaknya beraksi memasak dengan api besar.


Sama sekali tidak ada yang berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kami duduk di meja yang sama, di tengah, saling berhadapan, dengan menu hot plate udang rica, dan dua gelas es teh. Tapi, satu hal yang berbeda adalah kehadiran seorang ibu paruh baya, rambutnya dipenuhi uban, dengan jariknya menggendong sekeranjang roti sus di depan. Selangkah demi selangkah, perlahan berjalan, dia menghampiri tiap meja dan menawari kami – para pengunjung warung makan, untuk mau membeli roti susnya yang satu plastik berisi tiga buah roti sus kecil.

Akhirnya dia berhenti di meja kami. Pacar saya bertanya, “Pinten Bu?” (Berapa Bu?). Lalu jawabnya, “Gangsal ewu Mas.” (Lima ribu Mas) Pacar saya mencari selembar uang lima ribu di dompetnya dan memberikan padanya. “Matur nuwun Mas..” (Terima kasih Mas) jawabnya. Lalu dengan senyumnya lagi, ibu itu kembali menawari saya untuk mau membeli rotinya. Jawab saya, “Sampun Bu, niki setunggal mawon.” (Sudah Bu, satu saja cukup)

Ibu yang berbaju kuning itu lalu pergi dan kembali menawari pengunjung lain dari meja satu ke meja lainnya. Tapi, tak ada satu pun orang yang membeli roti susnya. Kepergiannya dari meja kami sempat membuat kami diam sesaat, memperhatikannya, dan pembicaraan kami tentang sidang MK yang sedang hot itu menjadi idle sejenak. Saya tidak tahu apa yang sedang dipikirkan pacar saya, ya.. karna saya bukan paranormal. Tapi, sikapnya untuk membeli roti sus seharga lima ribu rupiah itu yang saya suka. Saya lalu berkata padanya, “Ini buat sarapanmu besok pagi ya..”

Setelah kami selesai makan, membayar, dan hendak meninggalkan warung makan itu. Kami kembali berpapasan dengan ibu itu. Dia hendak masuk lagi ke warung makan itu. Lalu dengan senyum khasnya, dia menyapa kami, dan (lagi-lagi) menawari saya untuk membeli roti susnya. Jawab saya, “Sampun Bu, lha niki rotine dereng telas.” (Sudah Bu, ini rotinya belum habis)

Satu kata ingin saya ucapkan padanya: Hebat. Ya, dia benar-benar wanita yang hebat dan pantang menyerah, keluar-masuk warung makan dan ruko-ruko di sekitarnya untuk menjajakan roti susnya. Di malam hari, di mana mama saya sedang tiduran sambil nonton TV, atau mungkin ibu pacar saya sedang ngobrol santai dengan bapak, dia justru berkeliling menjajakan roti susnya. Keadaan yang membuatnya demikian. Tapi, senyum tulusnya itu yang membuat saya terhenyak dan berpikir, “Kapan yaa.. terakhir kali saya melihat orang tersenyum dengan sedemikian tulusnya?”, “Kapan yaa... terakhir kali saya tersenyum dengan tulus dan tanpa beban kepada orang lain?”

Dari senyum wanita itu, saya berusaha menebak, bahwa dia mensyukuri apa yang telah didapatnya. Berapa ribu pun yang didapatnya, “Maturnuwun... Allhamdulilah...” demikian pasti ucapnya. Tidak perlu dipenuhi dengan pikiran ribet, “Kok cuma segini ya dapetnya? Trus besok gue makan apa? Kok cuma segini gaji gue? Gak worth it dengan jerih payah gue selama ini bekerja di kantor ini deh..” Dan masih banyak pikiran ribet kita lainnya.

Mari kita sejenak menyimpelkan (membuat simpel) pikiran kita yang sudah sedemikian high tech nya. Bahwa apa yang sudah kita peroleh sampai detik ini, hendaknya selalu disyukuri. “Maturnuwun... Allhamdulilah...” seperti yang diucapkan wanita itu. Tidak usah terlalu pusing besok makan apa? Target beli ini-itu tercapai atau tidak? Burung pipit yang kecil aja dipelihara Tuhan, masa kita yang besar ini tidak?

Tuhan memberi kita kebijaksanaan untuk berusaha dan berupaya. Tapi bukan untuk serakah, menguasai, atau menyombongkan diri.

4 komentar:

Yessi mengatakan...

salam kenal,mbak..

tulisannya sangat menyentuh...hiks...
iya ya kita emang kadang suka lupa bersyukur dan selalu menuntut..padahal udah dikasi kerjaan enak yang gajinya pasti nongol di akhir bulan, masiii aja komplen....

thinkwithnonie mengatakan...

salam kenal juga mbak Yessi...

wanita itu tepatnya yang membuat saya terhenyak dan seharusnya bersyukur lebih sering lagi.
semoga dari situ kita sekarang jadi lebih sering bersyukur yaa.. ^^'

rastaFera mengatakan...

salam kenal noni...
saya suka tulisan anda ini...
very touching..
Jadi sedikit banyak membuat saya merasa sadar dengan banyak sekali keberkahan yang Tuhan sudah berikan...
Jadi kangen dengan Jogja euy..

Nonie mengatakan...

salam kenal rastaFera,
terima kasih apresiasinya. :)

orang Jogja yaa..
hehe.. Jogja memang ngangenin.